Keesokan harinya, Meissa dan Dorian sarapan hanya berdua saja. Mr. and Mrs. Lynn harus berangkat ke kota sebelah pagi-pagi sekali untuk mengunjungi kerabat Mr. Lynn yang sedang sakit.
Dorian menarik kursi di seberang Meissa. “Ah, aku benar-benar tidur nyenyak,” ujarnya sembari duduk. Ia meraih garpu dan mulai menyantap sarapannya. “Bagaiman denganmu?”
Meissa menuangkan susu ke dalam gelasnya. “Baik-baik saja. Tapi akan jauh lebih baik jika aku tidak harus terpaksa berdiri di padang rumput yang berangin dingin sampai larut malam.” Ia meminum susunya.
“Hei, kau seharusnya merasa beruntung karena sudah berada di sana. Para dewa pasti mendengarmu. Siapa yang sangka ternyata namamu sama dengan sebuah bintang? Ibumu saja tidak tahu itu,” tutur Dorian.
Meissa hanya menaruh gelasnya kembali di atas meja.
“Kau tahu setiap nama adalah doa, kan? Dan bintang jatuh adalah sebuah berkat. Gabungkan dua fakta itu, betapa menakjubkan hasilnya?” Dorian berteori dengan wajah serius.
“Paman, kau terlalu banyak mendengarkan omong kosong. Kau saja bahkan tidak tahu dari mana semua kepercayaan itu bermula dan kemudian menyebar.”
“Aku tidak perlu tahu dari mana semua itu berasal, yang kutahu semua itu benar,” jawab Dorian tanpa mendongak dari piringnya.
Meissa memajukan tubuhnya. “Kau juga bahkan tidak tahu itu semua benar atau tidak.”
“Aku hanya tahu semua orang mempercayai dan mengikutinya. Kurasa pasti ada benarnya.”
“Kau mengubah susunan kalimatmu,” tuding Meissa. “Kau tidak tahu apa-apa, Paman. Kau hanya mematuhi apa yang dilakukan penduduk kota.”
Dorian mengunyah kentang panggangnya sebelum membalas. “Seluruh kota mempercayainya. Bukankah fakta itu sudah menjadi bukti kuat bahwa perihal ini benar dan layak untuk diikuti?”
Meissa hanya berdecak. “Yeah, apapun yang diikuti mayoritas akan tiba-tiba berubah menjadi sebuah kebenaran.”
“Hm, hm, terserah kau saja. Tolong tuangkan teh itu untukku.”
Meissa meraih teko teh dan menuangkannya untuk Dorian.
“Terima kasih. Tolong sirup gulanya tiga sendok teh.”
“Bukankah itu terlalu banyak? Kenapa pula kau masih minum teh dengan gula?”
“Teh saja terlalu hambar untuk mulutku yang manis.”
Meissa menuangkan tiga sendok teh sirup gula ke dalam cangkir teh dan memberikannya kepada Dorian. “Kapan Paman akan berangkat kerja lagi?”
“Mungkin minggu depan. Atau dua minggu lagi. Tergantung peruntungan yang kudapat.” Pria itu menyeruput tehnya sedikit. “Uh, panas. Aku akan membiarkan bintang jatuh bekerja untuk mengabulkan permohonanku terlebih dulu.”
Mulut Meissa jatuh terbuka. “Astaga, kau juga mengajukan permohonan?”
“Tentu saja. Kau pikir untuk apa aku datang ke sana?” Dorian mengangkat cangkir teh ke mulutnya.
“Paman, tidakkah kau pernah berpikir kenapa bintang itu jatuh pada awalnya? Karena mereka sudah mati!” seru Meissa menggebu-gebu. Paman Dorian bukan orang yang spiritual, maka dari itu ia tidak menduga pamannya akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan semua orang.
Dorian tampak tertegun. “Eh? Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya.”