Meissa sudah menyadari kehadiran Rigel sejak mereka keluar dari dalam hutan ke jalan setapak menuju padang rumput. Pemuda itu bukan penguntit yang baik, selalu saja membuat bunyi-bunyi mencurigakan dan bergerak terlalu tergesa-gesa untuk bersembunyi ketika Meissa menoleh ke belakang. Gadis itu baru merasakan seperti ada seseorang yang mengikutinya ketika ia menyebrangi sungai kecil, terima kasih untuk kayu jembatan yang berderit.
Dan sekarang, mereka sedang berjalan di sisi padang rumput dengan jarak yang jauh. Meissa menolah ke belakang lagi, hanya untuk mengetes, dan mendapati pemuda itu menyembunyikan dirinya di balik dinding batu rendah dengan seperempat bahunya terekspos ke luar. Memangnya dia pikir Meissa tidak tahu muslihat kecilnya itu? Sambil memutar bola matanya, Meissa berbalik dan kembali meneruskan perjalanan.
Rigel menunggu beberapa saat sampai langkah kaki Meissa terdengar samar.
Sebelumnya, pemuda itu sempat pulang ke rumah untuk mengambil teleskop sederhana miliknya yang dirakit oleh Alfred dulu sekali ketika ia masih kecil, lalu bergegas menyusul Meissa ke padang rumput. Dan tentu saja, dugaannya benar.
Rigel menengok melalui bahunya untuk memastikan apakah posisi Meissa sudah cukup jauh, tetapi gadis itu tidak terlihat di mana pun. Ia buru-buru bangkit dan menoleh ke sana kemari.
“Ke mana dia pergi?” Rigel melangkah cepat mencari-cari Meissa. Ini wilayah terbuka, aneh sekali jika gadis itu tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa terlihat.
“Mencari seseorang?”
Terdengar suara dari atasnya. Rigel memutar tubuhnya dan mendapati Meissa menuruni turunan rerumputan di sisi lain jalan setapak.
Meissa memicingkan matanya pada pemuda itu. “Apa yang sedang kau lakukan?”
“Em… berjalan pulang?”
Mata Meissa masih terpicing. “Untuk apa kau mengikutiku?”
“Siapa yang mengikutimu?”
“Ayolah, Rigel. Kau tidak pandai menguntit orang.”
Rigel menahan napasnya sesaat sebelum mengembuskannya. “Yah, baiklah. Mungkin aku agak sedikit mengikutimu.”
“Kenapa?” Meissa memutari Rigel, ia bersedekap. “Kenapa kau tampaknya selalu berusaha mendekatiku sejak kau tahu bahwa aku tidak percaya pada bintang jatuh?”
Rigel sama sekali tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seterus terang itu. “Ah…” bahkan dirinya sendiri tidak punya alasan pasti.
Meissa memajukan wajahnya ke depan wajah Rigel. Kedua mata birunya menatap intens pemuda itu. “Kau punya niat buruk, ya?”
“Ya ampun! Tidak mungkinlah.”
“Lantas kenapa?” tanya Meissa lagi. Ia melirik teleskop yang dibawa Rigel. “Lalu untuk apa kau bawa-bawa benda besar itu segala?”
Sebuah bohlam bersinar muncul di kepala Rigel. “Ah! Ya! Ini teleskop. Aku membawanya kemari untuk melihat gugusan bintang di luar angkasa. Padang rumput adalah tempat yang sangat cocok untuk mengamati bintang,” elaknya. Ia berlalu melewati Meissa.
Dahi Meissa mengernyit. “Mengamati bintang? Pada sore hari?”
“Lihat, bagian langit di ujung sana yang paling jauh itu sudah mulai menggelap, kan? Sinar kemerahan dari matahari yang akan terbenam mulai membentuk gradasi warna,” jawab Rigel sambil menuruni turunan di sebelah jalan setapak ke padang rumput. Padahal, langit sama sekali belum menggelap dan matahari masih menggantung rendah dengan sinar kekuningan.
Meissa sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan pemuda itu.
Rigel mulai mengeluarkan teleskop dari dalam sarungnya. Ia membuka tripod dan meletakkannya di atas rumput, lalu membungkuk dan mengeluarkan tabung panjang berukuran sedang, yang di mata Meissa terlihat seperti pipa rokok milik Paman Dorian. Rigel memasang tabung itu di bagian atas tripod dan memutar penguncinya.
“Kau tidak turun ke bawah?” Rigel mendongak pada Meissa. “Tadi ketika dalam perjalanan kemari, aku tidak sengaja melihatmu berjalan menuju arah yang sama. Kupikir alih-alih menyusulmu, lebih baik aku mengikutimu saja dari belakang.” Ia cukup bangga dengan kemampuannya mengarang alasan dengan cepat.
Gadis itu hanya menatap Rigel dengan tatapan tidak percaya. Kedua matanya tidak berkedip.
“Mau melihat bintang juga?”
“Tidak perlu,” sahut Meissa. Ia berjalan turun. “Aku datang kemari untuk melukis pemandangan sore hari.”
“Kau tidak menyulam seperti biasanya?”
Sejak kapan dirinya dan Rigel menjadi seakrab ini? Meissa tidak ingat telah melakukan apapun yang bisa membuat pemuda itu menyadari kebiasaannya. “Sedang tidak ada pola sulam yang ingin kubuat.”
“Begitu.” Rigel manggut-manggut, kemudian beralih menyibukkan diri dengan teleskopnya.