Meissa sedang mengobrol dengan kedua temannya di sisi lain ruang kelas, membicarakan tentang rencana acara minum teh yang akan diadakan oleh anak-anak perempuan. Di tengah ruangan, beberapa anak laki-laki saling melempar bola. Guru kelas mereka harus meninggalkan ruangan untuk menghadiri rapat yayasan sekolah yang diberitahukan secara mendadak, jadi anak-anak memiliki waktu bebas untuk bermain selama beberapa lama.
Rigel menangkap bola yang dilemparkan kepadanya. Ia menoleh, mendapati para gadis mulai membubarkan diri dari diskusi mereka, dan menyisakan Meissa seorang diri di mejanya. Gadis itu berbalik dan meraih pensil, dia menuliskan sesuatu di sebuah kertas. Rigel melempar bola. Kemudian ia berjalan menghampiri Meissa.
“Persiapan acara minum teh?” tanya Rigel dari seberang gadis itu. Ia bersandar pada meja.
Meissa mendongak sekilas. “Ya. Kau tahu, ini memang diadakan rutin setiap sebulan sekali. Bagaimana dengan pesiar akhir pekanmu dan anak-anak laki-laki yang lain?”
Para anak perempuan dan anak laki-laki memiliki kegiatan di luar sekolah masing-masing yang akan mereka laksanakan setiap sebulan sekali. Anak-anak perempuan akan pergi piknik untuk minum teh bersama dan berdandan cantik dengan gaun-gaun mereka. Mereka akan membawa berbagai jenis kudapan dan minuman buatan rumah, kemudian menghabiskan waktu bersama-sama. Sedangkan para anak laki-laki akan mengemas ransel dan peralatan alam mereka lalu pergi pesiar di sekitar kota, seperti mendaki dan berkemah.
“Paling berenang di danau yang berada di tidak jauh dari rumah Kith,” jawab Rigel santai. Ia melihat kertas Meissa. “Apa tema acara minum teh bulan ini?”
Gadis itu mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa kau tahu kami selalu memberikan tema berbeda setiap bulannya?”
“Um, Meissa, aku juga mengobrol dengan para gadis lain.”
“Kami belum benar-benar memutuskan.”
“Bagaimana kalau ‘taman bunga yang cerah’?” Rigel memberi usul.
“Itu tidak terdengar seperti sebuah tema untuk acara minum teh,” jawab Meissa.
“Tapi kau bisa menggunakan nuansanya sebagai tema.”
“Hm, hm. Oke.” Meissa beralih pada kertasnya dan kembali menulis. Kemudian ia berhenti. Gadis itu menoleh pada Rigel. “Ah! Aku baru saja teringat sesuatu. Ada hal sangat penting yang harus kuberitahukan kepadamu.”
Dahi Rigel mengerut. “Sesuatu apa?” tidak biasanya Meissa yang pertama berinisiatif memperpanjang obrolan di antara mereka.
Meissa meletakkan pensilnya di atas kertas, tubuhnya berputar menghadap Rigel sepenuhnya. Masing-masing sikunya berada di dua meja yang berbeda dengan kedua tangan tertangkup di depan dada. Rigel bisa melihat ada kemilauan di balik mata biru gadis itu, yang sekarang tidak tampak senada dengan warna langit cerah tanpa awan, tetapi lebih seperti langit agak mendung dengan kilat-kilat kecil di dalamnya.
“Rigel, taukah kau bahwa sebenarnya bintang jatuh itu bukanlah sebuah bintang?” Meissa langsung menjatuhkan kartunya.
Rigel tidak bereaksi apapun, pemuda itu terhenyak. Setelah hening cukup lama, ia membuka mulutnya. “Apa maksudmu?”
“Aku baru saja berkunjung ke perpustakaan tempo hari. Di sana, aku sempat membaca buku tentang astronomi. Tertulis di salah satu babnya keterangan bahwa bintang jatuh bukanlah sebuah bintang asli, melainkan hanyalah bebatuan angkasa yang terbakar.” Meissa menjelaskan. Ia berusaha menahan dirinya untuk tidak tersenyum. “Awalnya aku menduga bintang jatuh adalah bintang yang sudah mati, maka dari itu aku bertanya-tanya mengapa orang-orang memohon kepadanya—”