“Kakek! Kakek!” Pintu pondok terbuka dan Rigel menghambur masuk ke dalam ruangan dengan terburu-buru. “Kakek, di mana kau? Aku perlu bicara denganmu!”
Ah, ya ampun, mengapa bocah ini datang ribut-ribut, batin Alfred. Ia sedang berbaring nyaman di sofanya. “Aku di sini,” jawabnya. Pria tua itu mengangkat tubuhnya berlahan untuk duduk.
Rigel segera berjalan cepat menghampiri kakeknya. “Kakek, aku perlu membicarakan sesuatu denganmu.”
“Ya, kau baru saja mengatakan itu kurang dari dua puluh detik yang lalu.” Alfred duduk, kepalanya menengadah ke langit-langit sesaat sebelum menghadap ke depan. “Apa yang begitu genting sampai kau mengganggu waktu tidurku?”
“Kakek, apa kau ingat tentang gadis yang tidak percaya pada bintang jatuh yang pernah kuceritakan kepadamu?” tanya Rigel.
Alfred mendongak sedikit. “Ya. Mungkin.”
Rigel memberitahu Alfred apa yang Meissa katakan kepadanya di sekolah.
“Lantas mengapa? Bintang jatuh memang sebenarnya bukanlah sebuah bintang sungguhan. Temanmu benar,” sahut Alfred.
“Ya, aku tahu. Tapi aku tidak bisa kehilangan muka di hadapannya.”
“Ada apa dengan wajahmu? Kau tidak membersihkan diri dengan benar lagi?”
“Bukan! Aku sudah banyak membanggakan bintang jatuh pada gadis itu. Aku tidak bisa tiba-tiba langsung mengatakan ‘oh, ya, kau benar, itu hanya batu’ dan menyetujuinya. Pikirkan bagaimana pendapat dia tentang diriku nanti.” Bagi Rigel, pokoknya entah akhirnya mereka menemukan titik temu atau dirinya memenangkan argumen ini.
Alfred menatap cucunya dengan kedua matanya yang masih sayu, lalu ia membenarkan posisi duduknya. “Dengar, Rigel cucuku. Ada masa di mana semua orang, atau sebagian orang, akan melewati fase-fase tertentu dalam hidupnya. Contohnya adalah temanmu ini. Aku berani bertaruh dia adalah seorang gadis yang memiliki keingintahuan yang besar untuk memahami suatu hal, dan maka dari itu dia akan pergi jauh untuk mengembara, mencari ilmu pengetahuan. Kita tidak bisa menutupi ataupun menghalangi itu. Dan kemudian setelah beberapa lama, orang itu akan kembali dengan segala pengetahuan yang telah diperolehnya. Tetapi, akan ada satu ruang kekosongan di dalam dirinya. Dan dari situlah, akhirnya dia akan kembali mencari sesuatu yang mengisi jiwanya secara penuh.”
Rigel menjatuhkan dirinya di sebelah Alfred. “Kakek, aku tahu semua itu. Aku hanya butuh sesuatu yang indah dan menginspirasi untuk diucapkan.”