Sail Upon A Star

Fann Ardian
Chapter #14

The Mysterious Silver Ladder

Secercah kemilau cahaya menyapu wajah Meissa, menyusup halus melalui kelopak matanya dan membuat gadis itu mengernyitkan wajah beberapa kali. Ketika membuka mata, cahaya putih itu menghalangi penglihatannya. Meissa harus menggunakan telapak tangannya untuk menghalau terangnya cahaya tersebut. Ia bangkit, kedua matanya menyipit karena tidak terbiasa dengan intensitas penyinaran baru yang muncul secara tiba-tiba. Meissa menoleh ke kiri dan kanan, mencari sumber datangnya cahaya putih itu.

Belasan meter dari posisi berbaringnya, tampak sebuah cahaya putih yang hanya terkonsentrasi menyinari satu area seperti lampu sorot. Di bawah cahaya itu, ada tangga panjang berwarna silver yang mengarah ke atas. Meissa mendongak, kedua matanya mengikuti naik tangga itu sampai ke langit, melintasi beberapa gumpalan awan abu-abu. Di puncaknya, ia bisa melihat tangga itu tersambung dengan sesuatu yang tampak seperti bagian bawah sebuah perahu dayung, bergerak-gerak pelan seperti berada di atas permukaan air. Meissa mengucek-ucek kedua matanya, ia mengerjap beberapa kali. Cahaya, tangga silver, dan perahu di puncaknya masih ada di sana.

“Dari mana datangnya semua itu?” gumam Meissa, dengan keadaan masih setengah terbangun. Ia mengusap-usap dahinya, lalu bangkit dan berjalan menuju cahaya dan tangga misterius itu.

Di bawah sorot cahaya misterius, yang Meissa tidak tahu tepatnya dipancarkan dari mana, tangga silver itu berbentuk sama seperti tangga lipat pada umumnya, tetapi memiliki pijakan yang lebih luas. Lebar pijak tangga itu berukuran dua kali lebar tubuh Meissa, pegangan tangga yang menjadi kedua sisi tiangnya tampak berkerlap-kerlip seperti titik-titik kemilau warna-warni ditimpa sorotan cahaya.

Satu tangan Meissa terulur untuk menyentuh pegangan tangga yang berkerlip-kerlip itu. Permukaannya mulus, tidak panas maupun dingin. Jutaan kerlip kecil itu seperti bergelenyar di bawah telapak tangan Meissa, menari-nari di antara jari-jemarinya. Wajahnya menengadah menghadap langit. Dari posisi berdirinya sekarang, ia dapat melihat dengan jelas bagian bawah perahu dayung yang mengambang di angkasa itu. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi penasaran. Tatapan mata birunya terlihat tenang, namun tajam. Meissa menyapukan pandangannya pada seluruh lanskap dengan seksama. Tidak ada siapa-siapa. Kemungkinan besar, hanya dirinya saja yang melihat cahaya dan tangga berkilau ini.

“Haruskah aku naik ke atas sana?” tanya Meissa pada dirinya sendiri. Ia menatap perahu itu. “Tangga ini memang tinggi, tapi tampaknya cukup aman untuk kunaiki.”

Terdengar suara seperti menarik hidung di belakang gadis itu, lalu diikuti erangan pelan.

Meissa menoleh melalui bahunya. “Ah, ya. Hampir saja aku lupa.”

Tidak menyadari kini ada sebuah sorotan cahaya misterius dari langit di dekatnya, Rigel masih tertidur dengan pulas di atas rumput. Ia berguling ke sisi lain dan merapatkan tubuhnya menjadi seperti bola. Hidungnya terlihat menarik-narik beberapa kali, kedua matanya masih terpejam.

“Hei, Rigel, bangun,” panggil Meissa. Ia berdiri menjulang di samping pemuda yang sedang terbaring itu.

Rigel tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar panggilan Meissa.

Gadis itu menendang pelan kaki Rigel. “Rigel, hei, ayo cepat bangun,” panggilnya sekali lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh pemuda itu. “Halo, apa kau mendengarku? Pulas sekali tidurmu. Ayo bangun. Kau harus melihat sesuatu yang menarik.”

Dengan wajah mengernyit dalam, Rigel kembali mengerang. Satu matanya tampak terbuka sedikit. “Ada apa?” jawabnya enggan. Satu tangannya mengusap-usap lehernya.

“Bangun dan lihat kemari.”

Lihat selengkapnya