“Ini benar-benar ide buruk.” Meissa menggerutu. Ia tidak tahu sudah sejauh mana mereka memanjat naik, yang ia tahu adalah pemandangan di sekitar mereka sudah berubah menjadi biru kehitaman. Ada titik-titik cahaya di sekeliling mereka. Mungkinkah itu bintang? Meissa tidak tahu. Yang pasti, ia masih bisa bernapas sampai sekarang. “Pernahkah kau memikirkan kemungkinan kita akan jatuh? Ya ampun.”
“Tidak,” jawab Rigel dengan enteng. Ia masih menaiki tangga dengan mulus. “Karena bukan itu tujuannya. Tinggal sedikit lagi kita sampai. Oh? Wah…” Rigel menelan ludah.
Meissa mengerutkan dahinya menatap wajah Rigel yang sedang melihat ke bawah. “Apa?” ia mengikuti arah pandangan pemuda itu. Lalu matanya berlahan-berlahan melebar.
Meissa seratus persen yakin ketika melihat perahu itu dari padang rumput, benda itu mengambang di langit yang diliputi sedikit awan. Di langit bumi. Dan posisinya di langit juga tidak setinggi itu dari permukaan tanah. Lantas kenapa sekarang mereka dapat melihat setengah planet bumi berada di bawah mereka?
“Jangan lihat ke bawah,” celetuk Rigel.
Meissa memutar bola matanya. “Ya.”
“Bagaimana itu bisa terjadi?”
“Pertanyaan yang benar adalah bagaimana kita masih bisa bernapas.”
Mata Rigel beralih pada gadis itu. “Kita sedang melihat planet bumi dari ruang angkasa dan yang kau khawatirkan adalah kenapa kita masih bisa bernapas?”
“Well, secara teknis kita seharusnya sudah kehabisan oksigen sekarang.”
Rigel menggeleng sambil berdecak sarkatis. Meissa dan seluruh pikiran teknikalnya. “Ayo naik lagi, sebelum kita terlalu lelah untuk berpegangan.” Ia berputar dan kembali memanjat.
Tidak berapa lama kemudian, mereka sampai di puncak tangga di mana perahu itu berada. Rigel naik ke perahu itu lebih dulu. Meissa menyuruhnya memastikan bahwa benda itu benar-benar mengambang dan tidak akan tiba-tiba terjun bebas ke bawah karena menahan bobot mereka berdua. Setelah yakin perahu itu tetap berada di tempatnya, Meissa naik ke geladaknya.
Rigel mengamati sisi luar perahu. Ia bisa melihat sesuatu seperti gelombang air tidak kasatmata mengayun-ayun di dasarnya. Rigel mencoba mencelupkan tangannya, merasakan kulitnya menyentuh sesuatu yang terasa seperti air namun sama sekali tidak basah. Tangannya hanya menimbulkan sapuan-sapuan lembut berwarna putih.
“Well, sepertinya ini benar-benar air yang tidak seperti air pada umumnya,” ujar Rigel, ia mengusap-usap tangannya. “Mungkin ini yang dinamakan air versi ruang angkasa.”
Meissa masih mengamati sekelilingnya. Kedua mata birunya bergerak ke segala arah. “Hm, hm,” gumamnya pendek. Ia melongok ke bawah, menatap planet bumi yang berada di bawah mereka. “Ini benar-benar ganjil. Kita tidak seharusnya berada di sini. Sekarang apa?” tanya gadis itu, tidak bisa menyingkirkan perasaan was-wasnya.
Rigel hanya mengedikkan bahu. “Tolong ambilkan dayung itu.” Ia menunjuk sebuah dayung di dekat kaki Meissa. “Mari lihat ke mana kita— UWAAHH!”
Pemuda itu terlonjak ke belakang, punggung dan kedua lengannya bertubrukan dengan haluan perahu. Meissa segera membalikkan tubuhnya dengan cepat.
Sesosok bintang raksasa berwarna kuning terang muncul di dekat perahu mereka. Dan bagian yang paling anehnya adalah, bintang itu memiliki wajah. Mata, hidung, bibir, bahkan alis. Bulu matanya juga terlihat lentik.
Meissa spontan melompat panik dan menubruk Rigel.
“Selamat malam, Meissa, Rigel.” Bintang itu menyapa mereka. Ada senyum bersahabat di wajahnya.
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut kedua remaja itu. Meissa dan Rigel masih terdiam bersisian di haluan perahu dengan wajah tegang. Mata mereka membulat menatap bintang raksasa di hadapan mereka.
“Maafkanlah aku jikalau tiba-tiba muncul dan mengejutkan kalian,” ujar bintang itu. “Kuharap aku tidaklah membuat kalian berdua ketakutan.”