Manusia terlalu sibuk merancang masa depan. Ingin dan angan disusun beraturan penuh keyakinan. Menyusun siasat untuk setiap rintangan. Semua agar tetap berada pada satu jalan. Mencapai kejayaan.
Namun, dari semua perancah itu, ada satu hal yang sering mereka lupakan. Masa depan selalu dekat dengan kematian.
Senja belum tergulung oleh malam. Matahari masih miring di ufuk barat. Dispersi warna jingga menggradasi warna angkasa. Sinar itu nampak lancang tapi diperlukan memasuki celah ventilasi. Menerangi.
Rumah tanpa napas manusia itu setidaknya menerima seberkas sinar lantam dari surya. Dengan langgas, masuk melalui celah-celah gorden yang berlubang sana-sini. Tak cukup terang. Gelap setidaknya masih meringkus ruang tengah rumah tua itu.
Seorang pria telah menggeser beberapa barang di ruang tengah rumah tua itu. Ia mendapatkan lantai hampa yang membentang. Ia lantas berdiri dengan tegap menatap lingkaran garam yang sudah ia buat. Di tengah lingkaran, sebuah gambar pentagram dibentuk. Setiap ujungnya, berdiri lilin-lilin yang mewakili setiap titik akhir. Titik lain saling terhubung, tersusun rangkaian huruf yang dieja berjarak.
A-S-T-A-R-O-T-H.
Terbentuklah sebuah gambar sempurna. Simbol yang ia ingat sebagai suatu tanda memanggil bala.
Pria itu memantik api. Wajahnya bermandikan cahaya lilin. Ia kemudian berdiri dengan tubuhnya yang tinggi seratus tujuh puluh lima senti. Sinar mempertegas kilau warna cokelat kulit pria itu. Wajahnya terlihat jelas. Badannya nampak tegap dengan kepalanya mendongak menerima udara lembap. Ia terpejam. Otot-ototnya yang menyembul dari lengan dan dadanya, kini mulai merenggang setelah kaku oleh tugas otak.