Seperti yang dikatakan Paracelcus,
“Semua adalah racun. Seisi dunia meracuni. Hanya dosis yang menjadikan segalanya tidak beracun.”
Kota Jakarta dirundung mendung. Hujan tengah bersiap menyerbu Bumi yang telah berselimut kelembapan. Perbedaan tekanan udara merangsang angin menari-nari dengan irama serampangan. Gemuruh petir sesekali mengiringi tarian angin. Siang tak lagi terik. Menyisakan pengap yang terjebak bungkusan awan. Hingga awan tak sanggup lagi menempa beban. Sudut kota dijatuhi rintik hujan. Semakin lebat serupa belantara.
Kelabu pilu mendung menular pada wajah-wajah mereka yang menyimpan rapat rasa bersalah. Wajah-wajah lusuh manusia di antara kekosongan harapan. Peringai pun semendung warna langit. Genta terduduk di bawah sinar lampu yang masih dipaksa menyala untuk menyurai gelap ruang investigasi.
Selayaknya penyelidik, Genta menerima berkas-berkas yang ia pelajari lebih dari sehari.
Ditemani pihak kepolisian yang ditugasi untuk mendampinginya, I Wayan Suryadarma yang duduk di hadapan laptop yang menampilkan tulisan-tulisan pemeriksaan saksi.
Genta diminta kepolisian untuk menganalisis kasus pembunuhan seorang wanita bernama Marinka Suseno. Ia ditemukan tewas di rumahnya dua minggu sebelum penyelidikkan. Tanpa adanya darah. Tanpa kembang kempis paru-paru. Hanya tubuh Marinka yang membiru.
Suaminya, Aidan Rusman Siregar, menduga bahwa istrinya dibunuh. Sebelumnya, Marinka tak pernah mengeluhkan sakit. Bahkan hasil pemeriksaan kesehatannya tak pernah mengindikasikan ia berpenyakit.
Sebelum jenazah Marinka dikremasi, Aidan meminta pihak kepolisian melakukan autopsi. Dengan bukti minim di sekitar tempat kejadian perkara, tidak ada jalan lain selain mengandalkan ahli forensik. Genta pun dilibatkan dan membawanya berada di ruang interogasi bersama seorang petugas kepolisian, Wayan.
Meski bukan bagian dari kepolisian, Genta selalu dimintai tolong untuk analisis forensik. Ketelitiannya selalu berhasil membantu mengungkap kejahatan.
Genta telah mempelajari profil keluarga Marinka dan beberapa bukti yang sudah terkumpul. Lalu, mengumpulkan orang-orang yang tinggal bersama Marinka sebagai saksi. Malini sebagai pengurus rumah. Risma adik kandung Marinka yang didiagnosa kanker beberapa bulan lalu. Dan ibu tiri Marinka, Yati yang telah berusia 50 tahun. Tak terkecuali Aidan, meskipun seorang pelapor mungkin juga terlibat pembunuhan korban.
“Genta, kita mulai dengan saksi pertama.”
Genta mengangguk.
Satu per satu dari keempat saksi diperiksa di ruang interogasi.
Seorang wanita dengan wajah lusuh akibat sisa-sisa keringat basah, duduk dengan wajah tertunduk. Rambutnya dikuncir seadanya. Matanya terbelalak dengan bola mata terus bergerak penuh resah.
“Nyonya Malini?” tanya Wayan tegas.
“Iya, saya.”
“Hanya Malini saja nama anda?”
Malini mengangguk.
Genta mengamati peringai saksi dari punggung Wayan. Memastikan.
“Bagaimana dan kapan anda mengenal korban?”
“Dari agen penyedia asisten rumah tangga, Pak. Saya bekerja di rumah Nyonya Marinka sudah lima tahun.”
“Oh, anda melakukan semua tugas pekerjaan rumah?”
“Tentu saja, Pak. Semuanya saya yang melakukan. Sesuai kesepakatan agen dengan majikan. Tapi, Nyonya Marinka juga menugasi saya untuk mengurus Bu Yati. Sebagai imbalan saya dikasih bonus gaji.”
“Saya dengar agen tempat anda mendaftar sebagai asisten rumah tangga sudah bangkrut?”
“Iya, Pak. Tapi, Bu Marinka masih bersedia menampung saya. Beliau itu orang yang baik kalau menurut saya. Kalau bukan karena beliau, mungkin saya sudah menjadi gelandangan di luar sana.”
Wayan mengamati lengan kanan Malini yang berusaha ditutupi. Lebam biru sedikit mengintip dari renda-renda di lengan dasternya. Malini hanya menggigit bibir menahan takut.
“Anda tidak memiliki masalah dengan korban?”
Malini menggeleng.
“Lantas, lebam biru itu?”
“Saya sempat jatuh, Pak, ketika membersihkan kamar mandi. Tangan saya terbentur pintu.”
Wayan memandang Genta yang masih berdiri di belakang punggungnya.
Genta mengangguk, mengisyaratkan untuk berganti saksi.
Risma Suseno, adik kandung Marinka. Ia datang dengan wajah tenang. Jalannya juga elegan dengan kaki jenjang yang kurus panjang. Lantas, terududuk memandang Wayan dan Genta sekilas dengan matanya yang sembab sisa tangis semalaman.
“Menurut berkas yang kami dapatkan, anda dan ibu tiri anda tinggal dengan mendiang Marinka setelah ayah anda meninggal?”
“Benar. Setahun setelah kakak saya menikah, Papa meninggal. Saya masih di bangku kuliah saat itu. Lalu, Kak Marinka membawa saya juga mengajak Bu Yati untuk tinggal bersama.”
“Bukannya hubungan Bu Yati dengan korban tidak akur?”
Risma menggeleng dibarengi dengan senyuman tipis, “Meski mereka sering bertengkar, sebenarnya kakak tidak pernah tega meninggalkan Bu Yati yang sudah tua seorang diri. Dia lebih memilih untuk merawatnya daripada meninggalkannya di panti jompo.”
“Bagaimana hubungan anda dengan korban? Apa korban pernah melakukan kekerasan kepada anda?”
“Tidak,” jawab Risma tegas, “dia sosok kakak yang baik. Dia sangat peduli dengan keluarganya. Terutama kepada saya. Dia membiayai pendidikan saya sampai lulus kuliah. Mendukung karir saya. Dan sangat menyayangi saya. Saya bisa merasakan itu. Dia seperti sosok mendiang Mama kandung kami.” sudut mata Risma sudah tergenang air mata. Ia menahannya supaya tidak jatuh. Meski setetes telah bergulir tanpa kendali.
“Setelah saya didiagnosa ada kanker di rahim saya,” lanjut Risma dengan napas tersenggak oleh tangis, “Kak Marinka secepatnya mengusahakan berbagai pengobatan. Saya ingat suatu ketika dia memegang tangan saya erat-erat dan memberikan saya dukungan supaya bertahan dan sembuh. Supaya bertahan hidup. Dia tidak ingin kehilangan saya. Satu-satunya keluarga yang masih dia miliki. Mendengar itu, saya takut kalau suatu saat membuatnya kecewa. Membuatnya sedih dan terluka. Padahal, dia sudah ada untuk saya.”
Wayan menyodorkan sekotak tisu. Risma menerimanya dengan ucapan terimakasih yang terpotong oleh tangis.
Jam berganti. Saksi pun diganti. Yati dipanggil untuk diperiksa.
Wanita paruh baya itu nampak begitu sehat. Dempulnya masih tebal menutupi pipinya. Riasan yang menyala, menyiratkan ia tak ingin dikalahkan oleh usia.
“Ibu Yati, silahkan duduk.”
Yati segera menyambut tawaran Wayan, “boleh saya merokok?” tanyanya.
“Maaf ibu, tempat ini ber-AC,” Wayan mengimbau dengan lembut.