Kata orang, rindu adalah penyakit.
Rindu akibat cinta yang dirakit. Namanya, selalu disebut oleh hati yang menjerit. Sanubari terus menerus mengungkit. Jika penawar rindu adalah dia yang masih sulit. Lantas, mengapa berani mencinta dengan rumit?
Malam memamerkan sinar rembulan yang tampak utuh melingkar. Angkasa ditaburi kerlip bintang yang tak mau kalah benderang. Jantung kota Jakarta belum terlelap meski langit dikuasai gelap. Kecuali sudut-sudut kota yang cukup jauh dari peradaban, kini sepi ditelan sunyi.
Ruangan di penjara terasa lembap serupa gua tanpa pintu. Aroma keringat bercampur pewangi lantai. Berbaur seperti pertarungan gangsi penghancur paru-paru.
Risma tengah duduk sembari menatap sinar rembulan yang menembus jendela penjara. Wajahnya sayu dipenuhi kesedihan. Tubuhnya semakin kurus tak terurus. Beberapa kali, polisi mengizinkannya untuk mengobati kankernya. Setidaknya menahan kanker untuk memperparah penyakitnya. Jadi, esok adalah hari di mana ia akan dipindahkan dari selnya.
Kehidupan di penjara membuatnya rindu masa lalu. Merindukan sang kakak, merindukan keluarganya. Ia tidak lagi memiliki siapapun di dunia ini.
Selama bekerja di pabrik obat, membuatnya terbiasa untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar tentang pengobatan dan toksikologi. Sampai ia mendengar suara-suara tak terkendali menguasai pikirannya untuk membunuh sang kakak.
Kini ia meringkuk di balik jeruji besi. Lebam biru di lengan dan wajah yang terkadang terasa nyeri ketika dingin menerpa. Luka itu ia dapatkan dari tamparan, pukulan bahkan hantaman dari teman satu selnya. Sakit. Ia menikmati itu sebagai hukuman atas perbuatannya.
“Makan malam,” ujar petugas sembari memberikan beberapa porsi makanan.
Dua orang wanita penghuni penjara seketika merubungi petugas.
“Bu Risma, ibu harus makan.” Sipir menasihati sesaat sebelum meninggalkan mereka pergi.
Risma merasa perutnya mulai lapar. Ia menyeret langkahnya menuju piring nasinya. Seorang wanita menjambak rambutnya dan menghempaskan tubuhnya jauh-jauh dari piring itu.
“Jangan kira lo sakit-sakitan, lo dapat perlakuan spesial ya. Jatah lo buat gue,” hardiknya.
Risma terdiam. Air matanya sudah habis untuk mengeluhkan rasa sakit. Lelah karena menangis membuatnya ingin meluapkan amarah. Tetapi lemah memakan jiwanya.
“Dasar lemah. Dari dulu juga, lo lemah.” Suara seorang wanita terus berbisik di kepalanya. Suara yang sama yang memengaruhinya membunuh Marinka.
“Lo siapa? Kenapa lo balik lagi?” Risma menjambak rambutnya. Memuaskan hasrat kesadarannya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak gila.
“Dia kenapa?” tanya salah seorang tahanan kepada tahanan yang lain.
“Tau. Udah gila kali.”
Risma mulai dirundung rasa takut. Suara itu kembali. Kini tertawa. Menggaung keras di balik telinga. Hanya telinganya.
“Risma. Risma. Masa lo gak kenal diri lo sendiri.”
Risma terdiam. Suaranya. Suara itu adalah suaranya sendiri. Suara di balik pikirannya.
“Apa gue udah gila?”
Suara itu kembali tertawa. Nada menghina. “Lo nggak gila, sayang. Gue benar-benar ada. Dan gue bisa membantu masalah lo. Lihat aja. Mereka ngetawain kelemahan lo. Kehinaan lo. Lo nggak pengin membunuh mereka juga.”
“Diam!”
“Heh, berisik. Lo kenapa sih!”
“Lihat. Lo terlalu lembut. Makanya lo dicampakan banyak orang. Bokap lo, nyokap lo, nyokap tiri lo, kakak lo, bahkan laki-laki yang lo cintai.”
Risma mulai menangis. Ia mulai dikuasai rasa takut. Rasa tidak aman.
“Gue harus bagaimana?”
“Gue bilang juga apa. Gue bisa bantu lo. Lo cukup tenang dan tidur. Selanjutnya serahin ke gue.”