Saintis

Pohon Pinus
Chapter #4

Fluoresensi

Sering kali kegelapan ditakuti. Karena di sanalah kepalsuan bersembunyi.

Kau laksana sinar paling terang. Datang dan memecah kegelapan. Penunjuk segala macam perwujudan.

Kejujuran melambung sebagai jawaban. Kegelapan bukanlah alasan utama ketakutan. Melainkan kebenaran dari balik kepalsuan.

 

Di kamar mandi apartemennya, Genta memeriksa obat-obatan yang diberikan oleh Alfa. Ia menemukan satu obat antibiotik. Lantas ia membuang obat itu ke dalam toilet. Ia hanya menyimpan obat penghilang rasa sakit yang diresepkan padanya.

Genta merebahkan diri di atas ranjang. Pandangannya diputar oleh isi kepalanya. Bukan sesuatu yang mengejutkan bagi dirinya mengemban penyakit paru-paru. Ia sudah merasa ingin merusak diri sedari dulu.

Pikirnya, apa itu kebanggaan? Berbagai prestasinya hanyalah suatu hiasan. Penghargaan yang membawa rasa bahagia. Hanya sebuah reputasi yang ia nikmati selama beberapa menit saja. Kemudian, menghilang.

Segala anugerah yang membawanya ke puncak karir. Kepada siapa ia harus berbagi kebahagiaan itu? Orang-orang di luar, mungkin bertujuan membanggakan orang-orang terdekat. Atau, orangtua mereka. Lantas, dirinya? Membanggakan orangtua yang masih ada terasa berbeda menurutnya. Jika ayah dan ibunya masih hidup, mungkin kebanggaan itu terasa lekat. Memberinya penghargaan yang lebih bernilai daripada hak paten. Untuk siapa ia melanjutkan hidup?

Genta terduduk dan mengambil foto dirinya yang masih sangat kecil. Kala usianya masih dua tahun. Masih berada di pangkuan ibunya. Ayahnya masih membelai kepalanya. Kenangan samar-samar yang begitu hangat. Selalu terasa nyata ketika ia kesakitan. Ketika didera sedih berkepanjangan.

Kenangan di masa lalunya selalu menerangi kegelapan. Juga rindu masa lalu dan hangatnya dekapan keluarganya yang utuh, menuntaskan pilu yang menggebu.

 

*****

 

Diana Rahajeng– ibu Genta– meninggal saat usia Genta dua tahun. Kenangan penyebab ibunya meninggal, terasa samar. Ia terlalu muda untuk memahami arti kehilangan saat itu.

Malam harinya, setelah pemakaman Diana, ayah Genta, Bayu Biru Amerta, membawa Genta pindah ke kampung halamannya. Kulon Progo, Yogyakarta.

Lihat selengkapnya