Saintis

Pohon Pinus
Chapter #5

Artemisinin

Mereka bilang, tak ada penyakit tanpa obat. Meski racun mungkin penyembuh yang tertulis pada nubuat.

Kau pun tercipta sebagai pemulih laraku yang paling mustajab. Karenamu, aku sembuh. Ku rasakan lega pada liuk napasku. Ku rasakan waras pada nadi-nadi yang kusut oleh rindu.

Ku ingin kau melingkupiku. Beriringan denganku. Meski kau mungkin racun yang akan mencekikku.

 

Tidak ada kasus pembunuhan yang memerlukan keahlian Genta akhir-akhir ini. Ia hanya melakukan rutinitasnya, mengajar di sebuah universitas ternama di kota Jakarta. Mantan dosen pembimbingnya yang memintanya untuk mengajar di tempat itu.

Bekerja di kampus sebagai pengajar hanyalah pengisi waktu berbagi ilmu. Sebagai tenanga pengajar yang tidak terikat kontrak ataupun aturan tertulis yang bisa mengekang langkahnya.

Pendapatannya tidak seberapa. Tetapi bukan masalah baginya. Sumber dana untuk hidup sudah terlalu banyak di akun banknya. Semua itu ia dapat dari hasil jasa analisis forensik dengan membantu kepolisian atau ketika ia berhasil meracik formula baru yang diperebutkan berbagai industri kimia dari dalam maupun luar negeri.

Sejumlah industri besar melamar Genta untuk bekerja menjadi pengembang produk di perusahaan mereka. Tetapi, Genta lebih senang untuk bekerja sendiri tanpa mau menjadi orang yang terikat. Ia bisa langgas menentukan arah langkahnya tanpa diatur oleh siapapun (Terkecuali aturan negara).

Disaksikan mahasiswanya, Genta menjelaskan tentang teori mekanika kuantum secara terperinci. Tentang gelombang. Tentang ikatan kimia. Tentang gaya antara dua atom yang berbeda, saling tarik menarik, membentuk satu kesatuan senyawa yang utuh dengan sifat yang sama.

Beberapa mahasiswanya memperhatikan cangkupan teori yang mendalam. Sebagian lagi, para mahasiswi berbisik tentang Genta yang memancarkan pesona. Garis wajahnya tegas, terlihat begitu rupawan dengan alisnya yang tebal. Tubuhnya indah serupa relief yang mencuatkan seni kehidupan. Ototnya kokoh di dada dan lengannya, dijerat kemejanya yang selalu ketat. Mereka lebih tertarik pada Genta ketimbang kerumitan teori kimia yang menjelaskan kompleksitas semesta. Karisma mengalahkan segalanya. Meski usia jauh adanya, tetapi tampan dan menawan memberikan ketertarikan yang luar biasa. Dada mereka berdesir. Pikiran mereka mengagung-agungkan sosok Genta.

Genta terbatuk. Suaranya menggelegar. Menggetarkan siapapun yang mendengar. Ia meraih sebotol air minum kemudian meregukknya. Gatal di tenggorokannya mereda. Tetapi batuknya tidak hilang sempurna.

“Maaf,” Genta berdehem, “sampai di sini ada pertanyaan?” imbuhnya.

“Pak,” salah seorang mahasiswanya mengacungkan tangan, “jadi, delta gibs dan entropi dapat menjelaskan kestabilan terbentuknya suatu senyawa?”

“Iya. Nilai ketidakteraturan dapat menjelaskan suatu senyawa dapat terbentuk secara spontan dan kestabilannya.”

Mahasiswa itu mengangguk lebih dalam.

“Ada lagi?”

Suasana hening. Mereka dibungkam makna yang tak tercerna atau dengan tuntas telah paham tentang segalanya.

Genta mengakhiri pertemuan kuliahnya setelah melihat waktu mengajarnya berakhir.

Ia segera berjalan ke ruang dosen dengan terburu-buru. Memang tidak ada yang rela melewatkan sebuah keindahan. Para mahasiswinya menyayangkan kepergiannya. Meski beberapa hari lagi mereka kembali dipertemukan, tetapi rasa tidak sabar sudah membumbun di hati sesaat setelah sosok Genta menghilang.

Di depan ruang dosen ada sebuah loker berjajar yang sengaja disediakan. Seperti biasa, Genta meletakkan buku-bukunya di sana. Ia menemukan beberapa lembar amplop warna-warni yang tersegel dengan rapi.

Dari mulut pintu ruang dosen, seorang wanita senja mengamati Genta yang tengah sibuk memilah-milah surat-surat itu. Ia adalah Profesor Latiefa Zahra, dosen pembimbing Genta saat dulu ia kuliah di jenjang sarjana.

“Surat lagi, Gen?”

Genta sedikit tersentak dari fokusnya, “Prof, saya tidak tahu kalau Profesor Latiefa di situ.”

“Halah, kamu terlalu fokus dengan selebaran-selebaran itu. Begitulah akibatnya kalau kamu tidak segera mendeklarasikan diri memiliki pasangan.”

Genta menghela napasnya. Melihat Profesor Latiefa yang sudah renta senja, mengisyaratkan dirinya akan lebih banyak menerima nasihat yang mengucur dengan leluasa dari bibir Profesor Latiefa. Ia membayangkan kalau ibunya masih hidup, mungkin seusia Profesor Latiefa, mungkin juga akan mengomel tak keruan tentang hal yang sama.

“Saya tidak terlalu memikirkan hal itu, Prof,” Genta mengisyarakatkan untuk memberhentikan pembicaraan yang lebih dalam tentang kehidupan pribadinya. Ia selalu melakukan itu tiap kali tersudut. Tak terkecuali pada orang yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. “Profesor, apa ada perlu dengan saya?”

“Oh, iya. Ada hal yang ingin aku sampaikan. Bisa kita bicara di ruang dosen saja.”

Genta mengangguk.

Profesor Latiefa berjalan terseok-seok dengan tongkatnya. Genta tidak lagi berusaha membantu. Terakhir ia mencoba membantu wanita itu untuk berjalan, ia malah dimarahi dengan kutukan-kutukan. Profesor Latiefa bukan orang yang ingin dikasihani. Ia cukup kuat menanggung beban hidupnya. Bahkan untuk waktu yang cukup lama.

Mereka duduk saling berhadapan di ruang dosen yang masih hening. Seluruh dosen banyak menghabiskan waktu makan siang di kantin bahkan di luar kampus.

“Kamu tahu, perusahaan Artemis?” Profesor Latiefa membuka suara.

Lihat selengkapnya