Saintis

Pohon Pinus
Chapter #6

Atom

Jika alam raya serupa kompleksitas senyawa, maka kita adalah atom-atom semesta. Penyusun terkecil lingkar hayat yang nyata. Bersinergi untuk satu tujuan yang sama. Simbiosis kehidupan bernyawa.

 

Adakalanya, letih bisa menjadi obat mujarab untuk melupakan gelisah. Jauh perjalanan yang dilewati Genta, bukanlah sebuah masalah meski lelah karena duduk berjam-jam memperkerut otot-ototnya. Ia lebih memilih mendengarkan mesin mobil dinyalakan dan melaju kemanapun ia terbawa suasana. Ketimbang duduk di kantornya sembari mengoreksi lembar jawaban ujian yang berisi tak lebih dari curhatan mahasiswa.

“Eh, bro, gue bingung, di Dewan Ilmuwan Negara, Profesor Latiefa itu jabatannya apa, ya?”

“Dia sudah menjadi kepala ahli di Dewan Ilmuwan Negara. Kenapa?”

“Perasaan setiap ada masalah tentang keilmuan, dia saja yang aktif menghubungi kepolisian.”

“Itu karena bagian tugasnya. Di bagian hubungan masyarakat. Lagi pula selain aktif mengajar, dia juga masih aktif menggarap proyek Dewan Ilmuwan Negara. Dia masih diperhitungkan karena satu-satunya orang yang ahli di bidang teknik biomolekular. Mungkin ia terbaik se-Asia Tenggara.”

“Lebih baik dari elu?”

Sorry, gue internasional,” Genta tergelak.

“Salah ngomong.” Dengus Wayan.

Mobil mereka berhenti di parkiran bawah tanah Menara Artemis setelah melapor ke pos penjagaan. Lampu-lampu neon yang terpancang cukup terang menerangi ruangan bawah tanah. Dua pria dengan tuxedo lengkap segera menjemput ketibaan Genta dan Wayan. Dua pria itu mengarahkan untuk lewat lift.

Sesampainya di lantai pertama menara Artemis, Genta dan Wayan disambut oleh seorang pria dengan rambut yang sebagian memutih karena usia tetapi badannya masih tegap dan berisi. Tersimpan keperkasaan yang belum terkikis usia senja di sana.

Genta mengenali pria itu dari gawainya yang ia buka beberapa jam yang lalu. Pria itulah Agnan Wijayanto. Dan satu orang pria lagi yang berada di belakang, putera pertama Agnan Wijayanto, Daniar Agni Wijayanto.

“Selamat datang, Tuan Magenta Mega Amerta dan Tuan I Wayan Suryadarma, anda pasti lelah karena perjalanan yang cukup jauh,” Agnan membuka tangannya sembari mengarahkan tamu-tamunya berjalan masuk.

Sebelumnya, Genta tidak pernah merasa dihormati seperti ini. Ia tidak pernah disambut langsung oleh pemilik perusahaan, sekalipun mereka membeli formula obat Genta. Mereka lebih memilih untuk mengirim utusan dengan jabatan teratas di perusahaan mereka.

“Perkenalkan, saya Agnan Wijayanto dan ini putera saya Daniar Agni Wijayanto.”

Daniar mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Genta yang lebih besar daripada telapak tangannya dan dengan kulit lebih gelap dibandingkan kulitnya.

“Panggil saja, Daniar. Kita seumuran kok,” Daniar mengguncang tangannya.

Genta menyepakati.

“Mari kita ke ruang pertemuan, yang lain sudah menunggu di sana.” Ajak Agnan.

Genta melewati lorong kantor dengan kaca-kaca transparan yang menunjukkan taman dengan pohon-pohon cemara menjulang rindang dan teduh. Aroma daun cemara menguar, memasuki ventilasi. Tak jarang gelombang suara gemericik air kolam ikut menyelinap masuk. Terasa menenangkan.

Di ujung lorong, mereka berhenti di depan pintu yang terhubung dengan ruang pertemuan. Di sebelah pintu, berjajar loker-loker dengan meja resepsionis di sana. Seorang wanita yang tengah siaga di depan loker-loker itu memberikan kalung pengenal dan beberapa tablet android untuk Genta dan Wayan. Kemudian ia meminta Genta dan Wayan menempelkan telapak tangannya di sebuah layar untuk menyimpan identitas tamu-tamu Artemis.

“Silahkan masuk,” ujar wanita itu.

Genta memasuki ruang rapat dengan deretan kursi yang hanya beberapa saja terisi. Kursi-kursi itu ditata melingkar menghadap pusat ruangan.

Genta duduk berseberangan dengan seorang perempuan yang tampak sibuk membaca gawai di tangan. Perempuan itu tampak acuh pada lingkungan. Rambutnya panjang tergulung rapi bagaikan lukisan Kartini. Hidungnya mancung seolah selalu siap menghidu aroma bermil-mil jauhnya. Kulitnya putih, mulus tak bernoda. Bola matanya terbias warna biru safir. Bibirnya mungil berwarna merah seperti kelopak mawar musim semi. Kecantikan itu bersinergis dengan tatapannya yang lembut namun penuh ketegasan.

Genta sempat menerka-nerka. Siapa? Mungkin kerabat dari Artemis. Hampir seperempat jam ia memandangi perempuan itu. Mereka berdua saling bertatapan. Hening terasa. Genta tenggelam di antara kedua mata itu. Ada suatu keunikan yang membuatnya terjerembab di sana. Merekahkan senyumnya tiba-tiba. Tanpa kendali.

 

Adakalanya, mata memicu jatuh cinta.

Bukan satu-satunya alasan. Tentang keindahan selalu berasal dari tatapan. Begitu saja rasa nyaman menyelinap. Menyulut damba hingga ke relung hati yang paling dingin. Pada rongga-rongga yang belum terisi. Meresap ke jaringan. Mendesak sel-sel untuk mengalunkan namanya. Pada setiap harapan dalam kekaguman.

 

Perempuan itu mengernyitkan pelipis. Sandi-sandi risih tertuang pada binar matanya yang cemerlang.

Menyadari hal itu, Genta menyadarkan dirinya kembali ke ruang pertemuan. Ia melempar senyum. Berharap permintaan maafnya tersirat di dalamnya.

Perempuan itu membuang muka. Masih meninggalkan aura jemawa.

Daniar mengambil alih suara. Seluruh ruangan senyap, tinggal suara Daniar yang berkuasa menyapa. Sekali lagi ia memperkenalkan dirinya. Beberapa menit setelahnya, ia memperkenalkan Agnan yang merupakan penguasa kerajaan Artemis. Beberapa kali tarikan napas, ia memperkenalkan puteri semata wayang pemilik Artemis, perempuan yang duduk di hadapan Genta, Ananta Kusuma Wijayanto. Tugas wanita itu sebagai kepala bagian RnD.

Sontak ada sesuatu menendang dada Genta. Sebuah kejutan.

Selanjutnya Daniar bercerita sejarah singkat dari perusahaan Artemis. Dan di ujung tujuannya mengumpulkan beberapa orang kepolisian, perwakilan pejabat negara dan Genta adalah menjelaskan kabar meresahkan dari beberapa rumah sakit di beberapa daerah.

“Sekitar setahun yang lalu, seorang anak di daerah Kemang mengalami penyakit yang cukup serius. Awalnya, ia didiagnosa terkena kanker otak. Kemudian setelah beberapa kali perawatan penyembuhan kanker, ia kehilangan kendali, ia kehilangan memori, kehilangan jati diri. Menurut beberapa dokter dari beberapa rumah sakit yang menangani kasus itu, gejala awalnya mereka mengalami demam berkepanjangan, kemudian mengeluhkan sakit kepala yang hebat, tempramen, kejang lalu kehilangan akal tanpa mengenal keluarganya bahkan dirinya sendiri.”

Daniar menyalakan video rekaman tentang apa yang terjadi di ruang isolasi pasien.

Lihat selengkapnya