Saintis

Pohon Pinus
Chapter #7

Polaritas dan Kelarutan

Kita pematah teori semata. Pemuas dahaga dari pemikiran yang haus jawaban.

Polar dan polar.

Nonpolar dan nonpolar.

Kita berusaha terlarut, melebur. Membantah tarikan dua kutub sama yang tak saling bersabur. Sebagai dalih agar terlepas dari tentangan hukum yang tertabur.

 

Nurani selalu dikalahkan emosi. Pelampiasan hanya bisa terpuaskan oleh hentakan dan hantaman. Keanggunan hanyalah kamuflase fisik di balik hati yang menegang karena amarah.

Sudah dua jam sampai langit diwarnai jingga senja, Ananta terus menerus menghantamkan kepalan tangannya yang terbungkus sarung tinju pada sandsack. Beberapa kali ia berhenti sekadar untuk minum. Kemudian kembali meluapkan amarahnya yang belum padam pada setiap pukulan.

Selayaknya anak gadis di keluarga kaya raya, Ananta dibesarkan seperti puteri kerajaan. Keadaan juga membuatnya diperlakukan lebih spesial. Dari usia tujuh bulan, ia sudah kehilangan pelukan ibunya. Ayahnya, Agnan, memilih untuk hidup menduda dan membesarkan kedua anaknya sendiri.

Waktu mendewasakan Ananta. Ia memahami bagaimana perjuangan keluarganya turun menurun sampai ke ayahnya. Sang waktu juga mengungkap bagaimana sang ibu kehilangan nyawa. Sang ibu meninggal karena pendarahan rahim paska operasi mioma untuk membantu proses kelahiran Ananta.

Ia tak bisa berhenti menyalahkan dirinya. Rasa bersalah kepada sang ayah dan kakaknya mencengkram jantungnya kuat-kuat. Meski dari semua itu, sang ayah dan sang kakak selalu mengunggulkan dirinya dalam berbagai hal. Hal itu membuat Ananta tergugah untuk menjadi wanita yang tangguh dan tak ingin berlarut-larut dalam buaian sedih luar biasa. Semuanya untuk membuktikan bahwa pengorbanan sang ibu untuk mempertahankan keberadaannya tidak sia-sia.

 Ananta diperkenalkan dengan dunia bisnis keluarga. Ia wanita yang akan diwarisi mandat tentang program riset dan pengembangan di Artemis. Sedangkan sang kakak menjadi pewaris tahta. Ananta tidak keberatan. Baginya, keberadaan sang ayah dan kakaknya sudah cukup memperkaya dirinya.

Kegiatan pembelajaran riset dan pengembangan di Artemis membuatnya begitu mencintai dunia penelitian. Ia memperdalam ilmu farmasi dan biomedis untuk bekalnya menjadi pengembang produk di Artemis. Karirnya melejit. Kecintaannya membawanya pada obsesi tiada ujung. Berbagai produk telah ia kembangkan. Beberapa ia modifikasi, membawa Artemis pada puncak kesuksesan dan bertahan selama ia menjabat.

Semua yang ia lakukan sebagai bukti bahwa di keluarganya ia memiliki peran besar. Demi membuat sang ayah dan kakak merasa bangga akan kehadirannya. Tetapi semua berubah, ketika kepercayaan yang ia bangun di hati sang ayah dan Daniar diruntuhkan begitu saja. Ia serupa debu yang tertiup angin. Tak bernilai. Dianggapnya sosok Genta menghempaskan dirinya pada keadaan terendah. Sampai-sampai ia tidak memiliki wujud di hadapan keluarga.

Entah air mata atau keringat di badan sudah tak dapat dibedakan. Amarah tak pernah jauh dari tangis baginya. Terakhir, ia berteriak sembari memberikan pukulan pamungkas pada sandsack yang rela memasang badan untuk pelampiasan angkara.

Ananta telentang dengan napas tak beraturan. Ia menutup kedua matanya dengan lengannya yang sudah basah oleh keringat.

“Lo baik-baik saja?” seorang pria menyodorkan sebotol air minum untuk Ananta.

Ananta membuka lengannya. Melepas sarung tinju yang menahan pergerakan jari jemarinya. Ia meraih botol air dari Erik dan menenggaknya tergesa-gesa.

Erik duduk di samping Ananta sambil meluruskan kedua kakinya. “Dua jam lo mukulin sandsack udah pasti lo lagi banyak masalah. Lagian ini bukan jadwal latihan lo muay thai.

“Ya elah kayak gue gak pernah bayar tepat waktu.” Ananta terdengar dingin.

“Tau anak direktur. Cuman kalau lo datang ke gym tiba-tiba, sedangkan gue masih ada kelas sama murid lain yah elu jadi murid terlantar.”

Ananta berdecak lirih, “gue tahu hari ini gue gak ada jadwal latihan sama elu. Gue ke sini cuman mau lampiasin apa yang ada di otak gue. Gak pengertian banget sih lu sebagai sahabat.”

Lihat selengkapnya