Bukankah sudah menjadi sifat manusia untuk menemukan seseorang yang sefrekuensi? Kita adalah dua gelombang. Merambat melalui medium hampa. Dipertemukan dengan amplitudo yang berbeda. Ketika kita berada pada satu fasa, berinterferensi pada medan yang sama. Kita dilepas supaya memilih secara leluasa. Untuk memperkuat energi atau saling membinasakan diri.
Mentari di titik tertinggi. Keramaian sedikit memudar di jalanan kota. Bersama supir pribadi kepercayaan Daniar, Genta dijemput untuk dibawa ke laboratorium riset dan pengembangan milik Artemis. Kali ini ia datang sendiri tanpa Wayan.
Mobil Hatchback yang memuat Genta, membawa wewenang memasuki pekarangan Artemis tanpa menanggalkan satu pun laporan. Cukuplah penanda yang tertempel di kaca depan mobil, memberikan kode-kode tersirat kepada penjaga pintu. Gerbang pun terbuka otomatis.
Mobil Hatchback itu melenggang perlahan membawa sedikit kedamaian. Lingkungan kerja Artemis sudah cukup memanjakan mata. Layaknya cagar alam dipenuhi pepohonan papyrus, cemara dan pinus berjajar menghijaukan pandangan. Rindang. Peneduh di tengah Bekasi yang panasnya tak pernah surut. Hamparan taman dengan rerumputan hijau, berpadu dengan pancuran air yang merebas tempias ke segala arah. Warna warni bunga memamerkan keindahan. Ketenangan yang bisa didapatkan para pegawai Artemis setiap pergi bekerja. Pantas saja Artemis memiliki peringkat dengan pekerja paling bahagia se-Asia Tenggara. Seluruh pegawainya dibuat senyaman mungkin di lingkungan kerja.
Kenyamanan itu mulai sirna ketika Genta sampai di rumah sakit Artemis. Seluruh dokter berhamburan serupa lembaran kertas yang tertiup badai. Mereka bergerak acak tak beraturan sembari menyesap kepanikan-kepanikan itu sendiri. Sebisa mungkin bergerak cepat menyelamatkan nyawa pasien.
Ada apa?
Genta segera diarahkan oleh Daniar menuju ruang isolasi. Letaknya ada di dalam sebuah gedung, berjarak beberapa meter jauhnya dari rumah sakit Artemis. Tempat itu sengaja dibangun jauh dari gedung utama rumah sakit (Meski masih satu lingkup di atas lahan yang sama). Tempat itu memang dibangun untuk karantina pasien dengan penyakit yang berbahaya dan mewabah. Semula, dibangun hanya untuk berjaga-jaga. Karena adanya kasus mutasi ini, ruang isolasi itu menjadi berguna.
Saat masuk ke gedung itu, Genta tidak langsung berhadapan dengan pasien, melainkan sebuah ruang arsip dan jajaran ruang-ruang dokter yang kosong. Ruang isolasi pasien yang sebenarnya berada di lantai paling dasar. Di bawah permukaan tanah.
Mereka sempat dibuat bingung dengan kepanikan para dokter dan perawat yang terlihat kacau. Bergerak rancu hanya mencari-cari stok obat bius.
“Ada apa ini?” kata Genta sembari berjalan cepat mengikuti langkah Daniar.
“Anda harus melihat ini. Keadaan para pasien semakin memburuk.”
Langkah kaki begitu cepat membawa mereka pada tempat isolasi. Sebuah tempat dengan lorong yang diapit ruangan berjajar dengan dinding-dinding transparan. Mereka leluasa melihat pasien-pasien.
Para pasien seperti berevolusi menjadi makhluk lain. Makhluk yang sulit dikenali sebagai manusia.
Genta mendapati satu buah ruangan yang menyita perhatiannya. Di atas pintu ruangan itu tertulis nama pasien Risma Suseno. Benar saja, ia tidak mengenali sosok Risma yang pernah ia temui.
Kedua mata Risma melebar. Warna putih sirna oleh pupil hitam yang meluas. Mulut melebar menganga. Lidah terjulur panjang. Suara-suara geraman bergetar dari tenggorokan. Wajah pucat kini memutih utuh. Sedangkan urat-urat bagai pewarna merah membentuk gambaran serupa sungai-sungai bercabang.
Apakah mereka masih manusia?
Daniar menggelengkan kepalanya, “kami hanya bisa menaikkan dosis obat bius. Terus-menerus.”
Genta mendekat ke arah dinding kaca. Amukan itu dirasa masih begitu beringas menerpa. Kesakitan terisak dari balik sana. Dari tubuh yang dirantai sana sini. Menjerit. Mengamuk. Sebelumnya ia hanya melihat semua ini di video. Dan kini ia dihadapkan langsung dengan kesakitan mereka yang begitu nyata.
“Inilah kondisi yang terjadi saat ini. Kami hanya bisa memberikan obat penenang. Tetapi sebelumnya, banyak sekali perawat kami yang diserang. Tidak jarang ada yang sampai kena luka gigitan bahkan cakaran. Mereka semakin membuas.”
“Bagaimana dengan makanan?”
“Mereka makan apapun yang ada di hadapan mereka. Selama itu adalah daging.”
Genta tercenung untuk beberapa saat. Dia pikir makhluk-makhluk ini adalah senjata yang dapat membinasakan keberadaan manusia.
*****
Sudah beberapa menit Genta diajak berkeliling di lingkungan Artemis. Mobil Hatchback yang membawanya, berhenti di depan gedung satu lantai tetapi terlihat begitu luas dan memanjang. Gedung itu bertuliskan Laboratorium Terpadu Artemis.
Petugas keamanan membukakan pintu untuk Genta. Ia masuk dan mendapati aroma obat-obatan bercampur pewangi ruangan menyeruak kuat.
Daniar menghampiri Genta dengan senyum simpul penuh rasa lega. Kali ini Daniar tidak sendiri. Ananta berjalan di sisi sang kakak. Warna air mukanya masih semuram seperti pertama kali ia bertemu dengan Genta. Kelabu.