Saintis

Pohon Pinus
Chapter #9

Reaksi Radikal

Mulanya, kau memicu tanda tanya. Perusak kestabilan hati yang lama tak terusik. Aku terbawa reaksi. Menggugahku memainkan rubrik-rubrik terbengkalai. Menyusun jawaban dari setiap kata yang tercerai berai.

Tersadar kau menarik. Tapi cukup sulit kurasuki. Membiarkanku menebak tiap teka teki tentang dirimu. Sampai aku tersadar. Terlalu jauh aku berkeliaran. Terus menerus mencari tahu. Walau tak mudah mengenalimu. Namun sekali hati terpantik. Rinduku meradikal tak kenal usai.

 

Kepulangan Agnan disambut oleh puteranya. Ia sampai di rumah elitnya saat surya telah kembali ke peraduan. Wajahnya dikunyah lelah. Tetapi kebugaran masih sedikit melawan. Senyumnya kembali terbit ketika Daniar bercerita tentang Genta yang telah berkekeling di Artemis.

“Lalu, di mana Ana?”

Daniar membisu sembari menghela napas panjang, “sepulang dari kantor, dia masih terus-terusan mengurung diri di kamar. Bahkan melewatkan makan malam.”

“Kenapa dia?”

“Genta menolak Ana untuk bergabung. Dia lebih memilih bekerja sendiri.”

“Memang Genta terbiasa seperti itu. Seperti ayahnya.”

“Papa mengenal ayah Genta?”

“Tentu semua peneliti tahu. Kita satu profesi. Ayahnya bekerja untuk Dewan Ilmuwan Negara dulunya.”

“Daniar masih belum mengerti, Pa. Kenapa Papa memilih Genta? Dan kenapa kita mau menangani proyek ini? Bahkan sampai mengorbankan perasaan Ana.”

Agnan memandang deretan foto di dinding. Runutan peristiwa ia tapaki. Bagaiamana sejarah sang nenek yang susah payah membangun bibit Artemis. Senyuman Agnan timbul.

“Tanggungjawab. Kita memiliki misi untuk menyembuhkan orang banyak. Begitu juga Magenta. Dia memiliki misi yang sama dan dibantu anugerahnya yang luar biasa.”

Daniar tercenung. Ada hal yang belum ia pahami. Tetapi proses pemahaman dari misi sang ayah, serupa mencari remahan kaca di antara tumpukan pasir besi. Seluruhnya berkilauan diterpa sinar matahari.

“Daniar mengerti,” kata Daniar meski hanya dalih untuk kabur dari berbagai prasangka.

“Biar Papa yang bicara pada Ana.”

Agnan menuju lantai dua. Ia tak memedulikan lelah. Rasa lapar ia acuhkan. Demi meredakan badai yang mungkin masih menerjang hati Ananta.

Sesampainya di depan pintu kamar puterinya, Agnan perlahan mengetuk pintu kamar Ananta. “Ana, ini Papa. Papa masuk ya?”

Pintu tak terkunci, Agnan mendapati sang putri tengkurap di atas ranjang dengan malas. Ia pun mendekat.

“Papa pulang kok nggak disambut.”

Ananta duduk sembari memasang wajah jemawa, “Ana capek, Pa, kerjaan banyak.”

“Kerjaan banyak sampai nggak sempet jemput Papa di bandara?”

“Nggak ada yang ngajak.”

“Daniar kira kamu marah. Padahal kamu memang lagi sedih.”

“Ana nggak lagi sedih, Pa.”

“Sayang, kamu ini puteri Papa. Ya tahu lah gimana watak puteri Papa ini. Kamu kalau marah biasanya ninju-ninju sandsack. Ke gym. Muaythai. Kalau lemes, terus nggak keluar-keluar kamar,” Agnan menahan nada panjang dan melirik jahil pada puterinya “tandanya puteri Papa lagi sedih.” Telunjuk dan jari tengahnya mencapit hidung mancung Ananta.

Ananta tersenyum simpul. Suasana hatinya mulai membaik, “terima kasih, Pa. Papa udah memperhatikan Ana. Maaf, Ana kesel soal keputusan Papa menyerahkan seluruh proyek mutasi kepada Genta.”

“Ana, tapi kamu harus bisa menerima, kalau dia memang tidak perlu diragukan. Papa tahu kalau keputusan Papa akan membuat kamu kecewa. Tetapi, ini menyangkut nyawa banyak orang. Papa memercayakan semua itu pada Genta karena dia bunya potensi di sana. Lagi pula ini bukan proyek Artemis saja, ini proyek negara. Genta juga selalu berhasil mendapatkan kepercayaan dari Dewan Ilmuwan Negara.

“Sedangkan kamu sudah Papa kasih kepercayaan untuk memegang proyek-proyek besar Artemis. Tanpa dicampuri siapapun. Jadi, untuk saat ini, apa pun keputusan Genta, kamu juga harus menerima.”

“Ana, juga ingin memberikan yang terbaik untuk Papa.”

“Kehadiran kamu adalah yang terbaik, dari yang pernah Papa terima.”

Agnan mengusap rambut Ananta dengan lembut. Lengan kemeja Agnan sedikit terangkat. Tato-taonya mengintip dari balik lengan bajunya yang tersibak.

Sudah lama Ananta ingin memiliki tato seperti Agnan. Ananta sudah terbiasa melihat tato-tato Agnan. Sampai-sampai ia hafal dengan gambar-gambar bernilai seni di kulit sang ayah. Bahkan ada tato yang bertuliskan namanya dan nama Daniar di antara belasan tato di badan Agnan.

“Pa, boleh nggak Ana bikin tato tulisan nama Papa.”

“Hmm, sepertinya jangan.”

“Kenapa? Papa kan juga pakai tato di seluruh lengan. Ada nama Ana sama Daniar lagi.”

“Karena Papa bukan orang terbaik yang namanya bisa kamu abadikan permanen di kulit kamu. Buatlah tato atas nama orang yang akan menggantikan Papa buat menjaga kamu. Buat Papa, kamu cukup mengukir nama Papa di hati kamu saja.”

Ananta memeluk Agnan. Melepaskan rasa sesal. Ketenangan kini merubungi perlahan. Hangat. Terkadang pelukan dari orang yang kita cintai selalu berhasil membuat kita aman. Kembali seperti anak-anak yang butuh perlindungan.

“Papa lapar. Belum makan malam. Kamu mau nemenin Papa makan, nggak?”

Ananta melepas pelukannya. Tersenyum hangat sembari mengangguk lembut.

“Gitu dong, puteri Papa.”

 

*****

 

Rutinitas kerja kini seperti biasa. Amarah mereda tanpa sisa. Meski kekecewaan tak pernah sirna begitu saja. Ia tak pernah menetap. Tetapi selalu kembali. Begitulah yang dirasakan Ananta.

Tangannya sibuk memilah berkas. Menyesuaikan standar dengan data-data yang dihasilkan instrumen analisis.

Suara dering telfon disertai sapaan hangat pagi menghentikan tangan-tangan Ananta bekerja. Seseorang ingin menemuinya. Ia menyetujui.

Lihat selengkapnya