Keserakahan mengeruk nurani tanpa jengah. Intelegensi adalah anugerah. Sudah seharusnya, manusia pandai memilah.
Rupa mana yang harus ditunjukkan. Peran apa yang harus disembunyikan
Untuk kekuasaan. Demi renjana akan pengakuan. Pengorbanan adalah pembayaran.
Harta. Cinta. Jiwa. Bahkan rasa malu yang tergadaikan. Meski sesungguhnya jiwa menjerit, menggaungkan segala penolakan.
Pesawat mendarat. Sejuta suara terpecah bersamaan dengan keluarnya penumpang. Genta keluar dari pelataran Bandara Udara Adisutjipto bersama Alfa. Pergi sejenak dari Artemis setelah mendapat izin, bukan untuk kabur atau menunda-nunda waktu. Tetapi suntuk terkadang membuat otak buntu. Bahkan untuk Genta sekalipun.
Genta sempat berkeliling Yogyakarta yang berbudaya. Ia tak melihat banyak evolusi dari jantung kota. Selama perjalanan, ia hanya mengamati lalu lalang kendaraan. Hiruk pikuk interaksi warga lokal dengan turis-turis yang berjejal. Monumen-monumen simbolik berjajar menguarkan estetika peradaban. Prambanan, simbol megahnya pengorbanan cinta. Keraton, bukti keadilan yang merata. Maliboro, jalan setapak menuju pusat kehidupan berjaya.
Kali ini Genta bertadak ke Kulon Progo sendiri. Ia meminta Alfa untuk tinggal di kota, di rumah Dorman. Ia tidak ingin melibatkan siapapun dalam prosesinya berziarah ke rumah lamanya. Menapaki kembali kenangan-kenangan samar pada masa kecilnya. Membungkusnya dan membiarkan ingatannya berkelana bersama perjalanan ke Kulon Progo.
Sekali lagi, Genta menginjakkan kakinya di atas tanah Samigaluh, Kulon Progo. Surya masih perkasa di angkasa. Tebaran awan tak terlalu kuat menahan hantaman cahaya. Langit biru berkilauan. Menjadi kanvas epik untuk lukisan pegunungan yang berjajar menjulang. Masih tetap asri, seperti 27 tahun lalu, saat Genta dan keluarganya pertama kali pindah ke tempat itu.
Rerumputan masih basah oleh sisa embun ketika Genta menginjakkan kakinya di pelataran rumahnya. Rumah itu masih berdiri kokoh di antara rerimbunan pohon cemara. Aroma daun cemara menyeruak disertai wangi sereh yang tak mau kalah pamer. Berpadu diantara butiran embun yang samar-samar menguar.
Genta menapaki jalan berbatu koral yang masih indah tersusun bergandengan. Bersama dengan itu, kenangan bergulir jelas di antara mata hatinya, ikut merambat bersamanya.
Bayangan masa kecilnya ikut berguling di antara rerumputan di sekitar pekarangan rumah. Bersama sang ayah, saling berkejaran, bermain air hingga lupa waktu. Tidak memedulikan terik surya yang iri dengan suara tawa bebas keduanya. Tidak mengindahkan angin yang cemburu karena dekatnya tubuh sang ayah dan anak dalam bahagia yang dilepas langgas.
Genta meraih kunci rumah yang sudah lama ia simpan. Ia tidak menyagka akan kembali mempergunakannya hanya untuk menjenguk kenangan masa lalu.
Ia memasuki rumah, seketika udara pengap menyeruak menyerbu saluran pernapasannya. Sudah lama rumah itu ditinggalkan dan hampir menjadi aset mati. Meski terlihat tak terurus, tetapi perabotannya masih utuh.
Dinding-dinding rumah itu sudah menguning di makan usia. Udara lembap mengundang lumut untuk membangun koloni pada sudut-sudut ruangan. Sinar surya membantu penerangan melalui celah-celah ventilasi beserta kelambu-kelambu tipis dengan lubang di sana-sini.
Genta menarik jubah-jubah putih yang menyampuli seisi perabotan. Debu-debu ikut berhamburan, berkelindan dengan udara kosong.
Genta mendapati piano kelasik milik sang ayah. Ia lalu duduk dan memainkan tuts-tuts piano itu. Selaksa memori merangsang jari-jemarinya untuk menari. Irama La Campanella karya Franz Liszt terdengar di permukaan. Ia biasa memainkan lagu-lagu kelasik karya musisi-musisi dunia bersama sang ayah.
Musik menjernihkan isi kepala. Bayangan sang ayah duduk di dekatnya sembari ikut memainkan nada pada tuts-tuts piano yang kosong. Sang ibu bersenandung merdu, berdiri di dekat piano sembari memuji permainan Genta dan sang ayah, yang selaras dalam harmoni.
Genta kembali merasa didekap masa kecilnya. Musik tak pernah berhasil dibengkokkan sang waktu. Memanggil serpihan kenangan yang dulu.
Genta mengakhiri permainan pianonya sembari tersenyum tipis. Ia kemudian berdiri dan menyeret langkahnya pergi.
Kerutan di dahinya timbul bersama rasa penasaran yang terpanggil oleh pintu di bawah tangga menuju lantai paling dasar.
Pikirannya mengolah bayangan masa lalu dimana sang ayah kerap kali melarangnya mendekati pintu itu. Pintu menuju ruangan pribadi sang ayah. Sebuah laboratorium rahasia.
Kini keadaan berbeda. Kesunyian mendorongnya untuk mendekati pintu itu. Membukanya. Dari balik pintu ada sebuah ruang gelap dan pengap. Sinar yang masuk dari luar beserta gerakan pintu yang telah lapuk membangunkan tikus-tikus untuk bergerak menjauh.
Di dalam ruang itu, ada sebuah tangga menuju lantai paling dasar. Genta mengambil lampu gantung yang berada di atas meja dekat piano. Beruntung, lampu itu masih berfungsi.