Tidak ada cahaya. Tanpa diawali gulita. Tidak ada kebaikan yang tak tersentuh keburukan. Mereka bersaing, saling menentang. Namun selalu ada tercipta. Hidup dan saling menjaga. Demi tujuan yang sama.
Keseimbangan.
Makan malam kali ini terasa berbeda bagi Genta. Suasana hangat sudah lama tidak ia rasakan setelah ia memutuskan untuk tinggal sendiri di Jakarta. Ia merasa dijamu dan diterima selayaknya anak bagi Dorman dan Laksmi.
“Tangan kamu kenapa, Genta?” tanya Laksmi dengan nyaring sembari menata beberapa piring di meja makan.
Genta membolak-balikkan bekas goresan yang sudah ia perban, “Oh, nggak apa-apa bulik. Tadi, Genta beres-beres rumah ayah. Nggak sengaja kegores kaca meja tadi.”
“Sudah diobati?”
“Sudah. Lukanya nggak dalam kok, Bulik.”
Laksmi berdecak, “Kamu ini, hati-hati. Kalau sampai titanus bagaimana?”
Genta tersenyum tipis. “Ada Alfa, Bulik.”
“Dih, Genta lebih jago bikin obat sendiri, Bu,” protes Alfa.
“Alfa, nanti kamu cek lukanya, Genta,”
“Bulik, ini nggak apa-apa kok. Genta nggak akan mati hanya gara-gara luka ini.”
“Hush. Kamu ini ngomong sembarangan. Kamu masih muda, jangan ngomong kayak gitu,”
“Memang kenapa, Bu? Bukannya tua-muda bisa meninggal tiba-tiba? Kalau takdir?” Alfa memancing opini Laksmi. Menyindir Genta.
“Kamu ngomong sembarangan, Alfa,”
“Menurut Ayah, kalau takdir ya tetap harus ikhlas,” Dorman menyahut, “tetapi kalau sakit sudah bisa diantisipasi, ya harus dihindari. Contohnya luka kamu itu Gen. Itu masih bisa diobati, ya diobati saja, daripada infeksi.”
“Iya, Paklik.”
“Bulikmu itu sedih kalau kamu ngomongin kematian. Paklik, juga. Kamu masih muda lagi. Kehilangan Ayahmu dulu saja membuat kami kaget sekali,”
“Ikhlas itu kalau lagi waras. Kalau tiba-tiba kangen, rasanya dada ini nyesek. Pengin nangis mulu. Meski sudah biasa ditinggal sama ayahmu,” tutur Laksmi, “Bulik nggak pengen kehilangan kamu juga Genta. Kamu ini sudah bulik anggap anak sendiri. Kamu ini satu-satunya pengingat mendiang ayahmu. Kalau bulik sama paklik khawatir berlebihan, itu karena kami sayang sama kamu. Itu saja.”
“Maafin Genta, Bulik.”
Alfa melirik Genta. Ia tersenyum tipis karena berhasil membuat Genta terdiam dan berpikir.
“Sudah, ayo kita makan. Kita jarang makan-makan kayak gini, besok kalian sudah balik ke Jakarta, masa mau meninggalkan kesan sedih,” ajak Dorman mencairkan susana.
Makan malam itu menjadi pengingat Genta akan kehangatan sebuah keluarga. Sebelum esok hari Genta kembali bekerja. Mereka bercengkerama. Berbicara ala kadarnya. Melepas rindu setelah berpuluh tahun lalu tidak bertemu.
*****
Tempias air menjelma semakin tipis di udara pagi. Menyisip di antara celah. Masuk ke dalam ruangan berpendingin yang bersirkulasi. Mesin pendingin yang berusia satu tahun itu sudah mulai kepayahan karena luput pemeriksaan. Tempias air itu terkondensasi didalamnya. Bergulir turun di dinding. Menetes. Semakin tertampung banyak di meja. Mengalir menyusuri bidang miring. Terjatuh pada saklar kabel. Meresap.
Tegangan listrik memercikkan panas. Penangas semakin boros panas. Panas yang berkelanjutan mendidihkan labu destilasi. Kelengahan pegawai memberi kesempatan panas mengeringkan isi labu. Panas semakin menjadi-jadi. Ledakkan tak dapat dihindari. Di salah satu bagian unit laboratorium terpadu, sebuah alat distilasi raksasa terbakar.
Alaram berdering melengking. Semua orang dievakuasi. Semua. Kecuali Ananta yang pagi itu terkena sial karena sedang berkunjung ke unit alat distilasi. Api semakin membesar. Kepanikkan menjadi-jadi. Seluruh karyawan berhamburan.
Berita terkurungnya Ananta di dalam kobaran api, sampai di telinga Genta. Dengan sigap, Genta berlari menuju unit. Memaksa masuk melawan kobaran api.
Asap hitam mengepul. Genta terbatuk karena paru-parunya semakin meringsut. Tetapi, ia tidak menyerah sebelum melihat Ananta selamat.