Saintis

Pohon Pinus
Chapter #12

Struktur dan Ikatan Kimia

Jika kimia adalah ilmu perubahan. Jika kimia mengaji struktur dan ikatan.

Bisakah ia menjelaskan struktur cinta? Bagaimana cinta bereaksi merubah jati diri?

Apakah itu Feromon? Oksitosin? Dopamin?

Aku tak pernah tahu bagaimana cinta terdefinisi.

Hanya kurasakan akibat cinta bereaksi. Hatiku yang dikata keras, melunak tak berarti.

Kini, tak perlu cinta diperjelas. Terkadang ada sesuatu yang tak perlu diulas. Sesederhana itu, mencintaimu dengan langgas.

 

Selang oksigen terasa begitu dingin menusuk saluran napas. Sampai udara mengalir ke pelipis, Genta tersadar tiba-tiba. Matanya terbelalak. Selang infus sudah terhubung pada nadi-nadinya. Kepalanya pening untuk sesaat. Kesadaran mendobrak masuk dengan paksa.

Genta mendapati tubuhnya terbaring di atas ranjang. Di tengah ruang sepi yang ia kenali tanpa susah payah. Pakaiannya berganti baju pasien berwarna hijau.

Ia duduk dan menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha mengingat kejadian semalam hingga tubuhnya berakhir terbaring di rumah sakit.

Astaroth. Bisiknya dalam hati.

Ia segera melepas selang oksigen di hidungnya. Berhati-hati melepas jarum infus yang terpasak di nadinya. Dengan terhuyung-huyung, ia menuju ke toilet yang tak jauh dari ruangan. Mendekap wastafel, memandikan wajahnya untuk memulihkan kesadaran.

Seketika itu ia tersadar. Luka sayatan di telapak tangannya, menghilang tanpa bekas.

Ia menatap cermin. Terbayang reka adegan bagaimana Astaroth menyeluk dadanya dan mengeluarkan berbagai cairan hitam dari dalamnya.

Tersadar akan kesakitan yang masih tersisa di bayangan, Genta melepas tali baju yang tersimpul di belakang lehernya. Menanggalkan pakaiannya. Melihat dada kirinya. Seluruh badannya. Tak satupun luka berdarah yang menorehkan pertanda.

Hanya ada satu hal yang menarik perhatiannya. Sebuah lingkaran dengan tinta hitam mengurung bintang pada pusatnya. Ia kenal dengan simbol itu. Simbol lingkaran Astaroth. Pertanda perjanjian berdetak seirama denyut jantungnya.

Sampai semua keanehan itu mendesak pikrannya, ia tersadar. Rasa sesak tak lagi ada. Sakit karena paru-paru yang setengah rusak, tak lagi ia rasa. Jual belinya semalam adalah kenyataan. Bukan mimpi atau khayalan.

Dari luar, terdengar suara dua orang pria yang mengobrol dengan nada panik. Tak lama setelah itu, pintu toilet terketuk. Alfa memanggil nama Genta tanpa sabar.

Genta segera merapikan kembali pakaiannya. Keluar dari toilet tanpa meninggalkan bekas rasa terkejut yang mungkin mencurigakan.

Alfa dan Wayan menatapnya dengan cemas. Penuh tanya. Kekhawatiran yang meluap-luap.

“Ada apa?”

“Apa yang kamu lakukan di sana?”

“Mencuci muka.”

“Kamu semestinya belum boleh bangun.”

“Aku sudah merasa baikkan?”

“Baikkan? Seseorang yang ada di posisimu pasti sudah mati, Genta.”

“Dokter Alfa benar, Gen. Lo kritis,” Wayan menyahut.

“Wayan, gue udah baikkan. Percayalah, gue ingin istirahat di rumah.”

“Kamu harus melakukan pemeriksaan lagi.”

“Tidak perlu, Alfa. Tidak perlu.”

“Kalau begitu kamu harus benar-benar istirahat. Jangan memaksakan diri ke lab dulu.”

“Iya, aku mengerti. Terimakasih sudah khawatir.”

Genta menyeret kakinya pergi. Membereskan beberapa barangnya dan meminta Wayan untuk mengantarnya pulang.

 

*****

 

Ananta terbaring lemah di atas ranjang. Ia duduk dan masih merasakan beberapa titik nyeri di bahu dan pinggang. Sarapan yang sudah ditata di atas nampan, hanya ia mainkan di tengah lamunan. Pikirannya merana. Mengkhawatirkan Genta. Sesal pasti. Benci surut teredam. Salah sangka dahulunya, menamparnya. Malu terasa.

“Ananta, ini Papa.”

“Iya, Pa.”

Bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka, Agnan masuk dan duduk di samping sang puteri.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Sudah mending. Ananta tidak terluka kok.”

“Itu sarapannya kenapa cuma diaduk-aduk?”

“Ananta belum lapar, Pa.”

Agnan berdecak, “Kamu harus makan supaya cepat pulih. Sementara kamu nggak usah ke kantor dulu. Istirahat saja.”

“Ananta tidak apa-apa, Pa.”

“Ananta kamu masih shock karena kebakaran itu. Sudahlah, istirahat. Papa yang akan mengurus unit yang terbakar.”

“Genta gimana, Pa?”

“Genta? Oh iya, katanya dia sudah dibawa pulang.”

“Cepat sekali?”

“Papa juga nggak tahu. Katanya dia sudah merasa baikkan. Hah, anak itu terlalu memaksakan. Tapi, untung dia menyelamatkan kamu. Papa berhutang banyak sama dia. Dan lagi, kecelakaan itu terjadi akibat kelalaian kita.”

Ananta menyurutkan wajahnya. Hatinya memecah spektrum rasa menjadi berlapis-lapis. Rasa cemas. Rasa bersalah. Rasa malu. Berpadu menghantuinya.

Pintu kamar diketuk oleh pelayan. Agnan mengizinkannya masuk.

“Maaf, Tuan. Ada tamu yang ingin menjenguk Non Ana.”

“Siapa?”

“Mas Erik.”

“Oh, suruh saja dia masuk.”

“Baik, Tuan.”

Beberapa saat kemudian, Erik masuk. Memberikan salam pada Agnan. Berbasa-basi ala kadarnya. Agnan sudah mengenal baik sahabat puterinya itu.

“Papa mau ke kantor. Kamu istirahat baik-baik,” Agnan meninggalkan kecupan hangat di kening Ananta, “Erik, Om titip Ananta. Suruh dia makan,” Agnan menepuk pundak Erik sembari mengakhiri obrolan.

“Siap, Om.”

Agnan keluar dari kamar Ananta. Sejalan kemudian, Ananta melompat dari ranjangnya dan melihat ke luar jendela.

“Eh, lo kenapa?”

“Wait.”

Melihat mobil Agnan lamat-lamat pergi, Ananta segera mempersiapkan diri. Ia membuka laci dan memeriksa berkas-berkas milik Genta. Mencari alamat.

“Rik, lo nganggur kan? Anterin gue sekarang.”

Where? Bahkan belum sepuluh menit gue ngejenguk lo, udah lo ajak pergi aja.”

“Gue sangat menghargai sekali lo mau menjenguk gue. Tapi ada orang yang lebih parah yang harus dijenguk.”

“Eh, gue bisa dibunuh bokap lo. Lagian gue harus ke kantor. Pekerjaan gue sewaktu-waktu.”

“Lo kan pemilik perusahaan IT tersantai di negara ini. Pokoknya anterin gue. Please, help me.” Ananta menelangkupkan kedua tangannya.

Lihat selengkapnya