Loyalitas selalu dipertanyakan.
Serupa kecantikan, hanyalah ilusi. Yang terlihat, keindahan yang tak pasti. Gemilang yang terpoles. Rangka penyusun berderet tak beres. Ia yang terlihat kuat. Mungkin dalamnya rangup bermudarat. Tak selamanya keindahan itu setia. Mungkin nista menjelma. Menunggu waktu, bersiap mencetak kecewa.
Ramalan cuaca hari ini hanya berawan. Tapi, tempias air langit secara halus terdispersi menebar lembap. Deras hujan belum terjadi pasti. Bahkan sampai sore menjelang, hujan tak kunjung datang. Tetapi Wayan sudah membuka payungnya lebar-lebar sampai akhirnya ia masuk ke dalam mobil.
Esok adalah hari pelaporan bagi Genta. Dan delegasi harus dikirim sebagai perwakilan. Wayan baru saja keluar dari kantor Dewan Ilmuwan Negara. Mengantarkan beberapa pesan dari kepolisian dan dari Artemis perihal pengamanan esok hari.
Pekerjaannya sudah merangkap saja sebagai pengantar pesan, bodyguard Genta dan sebagai penyelidik dari berbagai kasus yang bahkan sudah diselesaikan oleh Genta.
Seberat apapun itu, ia menyadari tanggungjawabnya sebagai petugas kepolisian. Sedikitpun keluhan itu, ia lumat dengan tawa. Atau hanya berbincang ringan dengan Genta yang dapat membantunya melupakan segala durja.
Tanpa terencana, Ke dua mata Wayan menangkap sosok Profesor Latiefa keluar gerbang gedung Dewan Ilmuwan Negara dengan lakunya tergopoh.
Wayan hendak memberikan tumpangan. Tapi, sebelum ia berhasil menyapa, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan Profesor Latiefa. Ia mengurungkan niatnya.
Seseorang di kursi kemudi seperti bercakap-cakap ringan dengan Profesor Latiefa. Seolah menjaga rahasia rapat-rapat. Lantas, Profesor Latiefa masuk dan duduk di kursi belakang.
Gelagat tak wajar tersirat dari semburat wajah Profesor Latiefa. Kecurigaan timbul dari dalam benak Wayan. Merasa cemas, ia mengikuti kemana arah mobil itu pergi. Sembunyi-sembunyi.
Mobil yang memuat Profesor Latiefa berhenti di depan sebuah gedung pameran artistik di daerah yang jauh dari pusat Kota Jakarta. Wayan masih mengawasi dari balik jendela mobil.
Profesor Latiefa sedang berbincang dengan seseorang di depan gedung. Lantas, perlahan punggung Profesor Latiefa menghilang. Masuk ke dalam gedung tua itu.
Beberapa jam menunggu, Profesor Latiefa keluar dari gedung dengan gelagat aneh. Mengendap-endap seperti menyembunyikan beberapa hal yang tak ingin orang curiga. Meski dari kejauhan, ketakutan terbias jelas dari air mukanya. Bahkan dibumbui rasa sesal yang tidak diketahui sebabnya.
Mobil yang sama menjemput Profesor Latiefa, kemudian melaju bersama rahasia yang entah kenapa mengundang rasa ingin tahu Wayan. Mimik Profesor Latefa yang mencurigakan, menggelitik Wayan untuk menggalinya lebih dalam.
*****
Hari pelaporan tiba. Seluruh delegasi berkumpul di ruang peretmuan menara Artemis. Dewan Ilmuwan Negara. Kepolisian. Perwakilan pemerintah. Dan tentunya Ananta, Agnan dan Daniar yang sudah sedari pagi menyambut tamu-tamunya.
Mereka bersiap mendengarkan penjelasan Genta.
Agnan memberikan sambutan selaku presdir. Beberapa menit kemudian, mempersilahkan Genta untuk menyampaikan hasil penelitiannya.
“Sudah satu tahun enam bulan sejak saya bergabung dengan Artemis dalam mencari penawar untuk mutasi genetik. Tetapi, saya baru sampai tahap pembuktian penyebab mutasi ini.”
Sinar lampu dipadamkan. Genta menampilkan gambar-gambar beserta data-data risetnya di layar proyektor.
“Penyakit ini adalah evolusi kanker.”
Gemuruh yang tertahan. Semua saling berbisik kebingungan.
“Saya menemukan sebuah virus jenis baru yang hanya menginfeksi sel kanker. Virus itu membuat sel kanker menjadi lebih pintar dan dapat mereplikasi DNA dirinya persis seperti inang yang dia hinggapi, sampai akhirnya sulit dikenali sebagai kanker. Rekayasa pada sel kanker ini membuatnya seperti hidup. Dia berusaha mengambil alih seluruh tubuh pasien. Mendesak kesadaran pasien sehingga kehilangan kendali atas dirinya sendiri.”
“Jadi yang diinginkan oleh kanker itu?” Tanya salah seorang audiensi dari pihak pemerintah.
“Kehidupan.”
Genta menunjuk gambar yang ada di layar. Seekor mencit berubah drastis. Berukuran lebih besar. Matanya melebar. Pupilnya menguasai seluruh area matanya. Telinganya membesar. Mulutnya terlihat buas dengan taring memanjang.