Kita susunan dasar yang sama.
Merapat teratur. Hanya beda struktur.
Takdir membedakan proses kita tercipta. Kau terasah dan berkilauan. Aku terhempas dan usang.
Hingga timbul tanda Tanya. Siapa yang paling berharga?
Tanpa lisan menjelaskan. Begitu mudah menyimpulkan. Kau intan. Dan aku bongkahan arang.
Sepuluh tahun lalu. Wayan ditugaskan di bagian penyelidikan. Dari sanalah ia dipertemukan dengan Genta yang baru lulus dari pendidikan sarjana.
Genta ditugaskan sebagai asisten analis. Ia menguasai beberapa metode yang digunakan untuk proses autopsi jenazah kasus pembunuhan. Lebih dari itu, ia sering dilibatkan dengan Wayan untuk beberapa tugas penyelidikan.
Rutinitas pertemuan, membuat mereka saling mengenal. Mendalami masa lalu mereka masing-masing. Dan mulai bersahabat.
Hingga dua tahun berlalu, Genta diberangkatkan ke Jerman untuk studi pascasarjana. Selama lima tahun mereka sudah tidak saling berjumpa.
Waktu bergulir hingga saat Genta meraih gelar doktor sedangkan Wayan telah memiliki keluarga kecil sederhana.
Lama tidak dipertemukan, Genta kembali diminta oleh Dewan Ilmuwan Negara dan pihak kepolisian, kembali bertugas menangani beberapa kasus yang membutuhkan analisisnya secara kimia. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, ia dipasangkan dengan Wayan.
Hingga pada suatu masa, Wayan jatuh dalam keadaan terpuruk. Puterinya terkena meningitis dan harus diterapi. Syaraf mata puterinya sudah hampir rusak.
Melihat kondisi itu, Genta ikut turun tangan untuk menemukan penawarnya. Genta mengembangkan sebuah serum untuk menginaktivasi bakteri meningitis. Serum buatan Genta juga merangsang metabolisme tubuh supaya residu sisa reaksi dan bakteri yang sudah diinaktivasi dikeluarkan melalui cairan tubuh. Serum itu diproduksi skala besar. Genta mendapatkan jatah atas karyanya dan memberikannya kepada puteri Wayan.
Melihat hidup puterinya selamat. Ancaman tuna netra tak lagi ada. Wayan sangat berterimakasih kepada Genta. Mereka semakin erat. Persahabatan mereka tak lekang dan tak punah. Sampai pada suatu titik di mana kini kepercayaan menjadi penghalang antara dirinya dengan Genta.
*****
Sebelum kota-kota lain tersiram air, Bogor sudah basah oleh hujan. Petir sebagai irama yang biasa diperdengarkan. Angin tak lagi sepoi-sepoi. Badai.
Di tengah jalan pekat tertutup kelambu hujan. Memutih. Wayan mengendarai mobilnya tanpa hati-hati. Hawa dingin tidak berhasil memadamkan amarahnya. Kali ini hanya satu tujuannya. Ke rumah Profesor Latiefa.
Wayan meluapkan amarahnya dengan menggenggam kemudi erat-erat. Namun ia terus mencoba meredam amarah dengan membayangkan masa lalunya. Sebesar apapun durja, ia masih tidak ingin lari dari Genta. Ia tidak ingin hubungannya dengan Genta retak. Baginya, Genta lebih dari sahabat. Selayaknya saudara.
Hujan mereda ketika mobil Wayan menyentuh pekarangan rumah Profesor Latiefa. Jam menunjukkan pukul empat sore. Tetapi, rumah Profesor Latiefa masih sepi.
Wayan tak ingin gegabah. Sekali pertama, ia hanya ingin memastikan.
Ia menapaki jalanan dengan kerikil sabak sepanjang pekarangan. Sampai mencapai tangga menuju pintu depan rumah Profesor Latiefa, Wayan mengetuk pintu.
Suara seorang wanita menyahut dari dalam rumah. Ketika wanita itu membuka pintu, bukan wujud Profesor Latiefa yang muncul. Melainkan pengurus rumah.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya I Wayan Suryadarma. Saya rekan Profesor Latiefa. Apakah beliau ada di rumah?”
“Aduh maaf, ibu teh belum pulang. Sepertinya sebentar lagi. Biasanya jam segini sudah sampai rumah. Saya juga kurang tahu. Tapi…sebentar, biar saya telfon dulu.”
“Baik.”
Perempuan itu masuk ke dalam rumah untuk beberapa saat. Sampai beberapa menit ia mengobrol melalui telfon dan kembali ke teras.
“Ibu katanya pulang agak terlambat. Sekarang baru sampai stasiun Bogor. Paling juga habis ini sampai. Kata Ibu, Bapak diminta untuk menunggu di ruang tamu.”
Wayan mengiakan. Ia memasuki ruang tamu dengan aroma anggur yang memikat. Beberapa menit kemudian aroma itu berganti menjadi wangi blossom yang lembut. Suasana rumah Profesor Latiefa begitu menenangkan.
“Maaf, Pak, tetapi saya tinggal dulu di dapur. Saya sedang memasak tadi, buat makan malam ibu. Kalau ibu pulang dan belum siap, saya takut kena marah. Saya permisi dulu.”
“Iya.”
Wayan memperhatikan sekitar perabotan rumah. Rapi dan kelasik. Rumah itu hanya terdiri dari satu lantai. Berdinding beton kokoh. Dindingnya tinggi menjulang sampai ke atap. Megah.
Dari ruang tamu, Wayan dapat melihat ruang tengah dan sebuah meja bundar di pusat ruangan. Di depan meja bundar itu ada sebuah etalase dengan deretan kotak-kotak berisi cairan pewangi ruangan tertata di sana. Di dekat etalase itu ada sebuah kamar. Wayan yakin itu adalah kamar Profesor Latiefa. Karena, tak ada kamar lain lagi yang tertutup serapat kamar itu.