Kita terlahir dengan satu wajah.
Di saat yang lain kita menciptakan rupa baru. Peperangan terjadi antara dua kubu. Tentang siapa sang jati diri. Dan siapa yang berpura-pura sejati. Tak ada yang dimenangkan. Tak ada yang dikalahkan. Sebab keduanya bermain imbang dalam satu peran.
Di kursi belakang mobil, Profesor Latiefa menopang dagunya sembari mengamati pemandangan luar. Ia mengerjap ketika supir menghentikan laju mobil.
“Kita sudah sampai.” Cetus supir.
Profesor Latiefa mengiakan. Pagi tadi ia mendapatkan pesan singkat untuk bertemu seseorang. Seorang pria yang sudah lama ia kenal, mengirimkan supir untuk menjemput dan mengantar Profesor Latiefa pada pertemuan rahasia tersebut.
Profesor Latiefa segera turun dari mobil. Ia menuju pintu depan gedung pertemuan yang dijaga oleh dua orang pria gagah sebagai penyeleksi kelayakan.
Melihat keanggotaan Profesor Latiefa, ia diperbolehkan memasuki gedung.
Di sana, ia sudah disambut seorang pria dengan tubuh beraroma parfum Thierry Mugler seri Angel Man Pure Wood yang sudah biasa ia baui.
“Tidak ada yang mengikutimu, bukan?”
“Tidak ada,” Profesor Latiefa meyakinkan.
“Bagus,” pria itu berjalan pelan mendekati tembakan sinar matahari yang masih condong menjelang senja. Matanya terlihat tajam serupa pemburu, “Aku yakin Genta sudah tahu penyebab penyakit itu.”
“Aku tahu. Seperti rencana awal, memperbaiki kekurangan formula yang kita susun berdasarkan hasil analisis Genta.”
“Tidak. Kita jadikan itu rencana B.”
“Apa maksudmu?”
“Aku menemukan sebuah rahasia ketika aku pergi ke Yunani. Aku bertemu dengan seorang arkeolog dan juga keturunan dari alkimiawan. Dia mendalami ilmu metafisika juga.”
“Apa itu?”
“Seperti anugerah kekayaan yang dapat diwariskan. Maka begitu juga dengan ilmu pengetahuan dan kehidupan.”
“Maksudmu, jurnal yang ditulis Bayu masih ada sebagian?”
“Aku yakin sisa tulisan pada halaman yang hilang itu ada di suatu tempat di dalam kepala Genta.”