Pada suatu waktu, kita berjumpa dalam wujud paling lemah. Menyegerakan tindakan naluri untuk saling melengkapi. Saling memperkuat meski sisi lain lebih hebat.
Pada akhirnya, kita tak lebih dari kumpulan ego dan tinggi hati. Mungkin, sendiri tak akan menjadi sulit setelah terbiasa. Sebab ketika bersisian, persaingan membelokan arah tujuan. Tak sependapat mengganggu derajat keteraturan.
Kita memilih berpisah. Berjuang seorang diri. Hingga energi terkikis habis. Kembali pada satu titik awal, dalam wujud terapuh dan tak saling mengenal.
Ananta berjalan lebih cepat dari biasanya. Ia menuju laboratorium pengujian. Membuka pintu tanpa permisi sembari menatap Genta dengan tatapan nanar.
“Kamu sudah mendengar kabar?”
Genta kebingungan. Ia siap mendengarkan rentetan peristiwa.
*****
Tanpa hati-hati, Genta menerabas jalanan lenggang dengan motor. Gesit. Jakarta-Bogor ditempuhnya kurang dari tiga jam. Motornya sampai membawanya ke lokasi jenazah Wayan ditemukan.
Mobil ambulans masih berjaga. Beberapa paramedis membantu jalannya proses evakuasi. Ketibaan Genta tepat saat tim penyelamat berhasil mengangkat jenazah Wayan dengan susah payah.
Beruntung Genta masih bisa melihat sahabatnya untuk terakhir kali.
Ia mendekat. Air mata sudah tertahan di sudut kelopak matanya. Tangis ia tahan selayak ksatria yang memangku jenazah kawan seperjuangan. Ia menyentuh tubuh Wayan. Kulitnya rapuh. Dingin. Genta tidak bisa berhenti menyesali kemarahannya.
Salah seorang petugas kepolisian menenangkan Genta. Menjelaskan kronologi berdasarkan cerita saksi. Mereka melihat bahwa mobil Wayan melaju terlalu kencang. Hingga akhirnya terperosok ke jurang.
Genta terdiam. Keruhnya pikiran ia coba redakan. Jernih. Untuk apa Wayan ke Bogor kalau bukan ke rumah Profesor Latiefa?
Ia kembali menyambangi jenazah Wayan. Ia menahan petugas yang membawa. Ia duduk di hadapan jenazah Wayan. Mengamatinya. Penyesalan menggerayangi. Kenapa kita harus berakhir dengan keadaan yang paling buruk?
Ia meraih ponselnya yang sudah ia abaikan sedari pagi tadi. Dan ia menemukan panggilan terakhir dari Wayan.
“Bro. Kalau lo terima pesan ini, please hubungin gue. Gue mau kasih tunjuk sesuatu. Dan gue juga….gue juga mau minta maaf. Maafin gue kalau gue terlalu gegabah dan menyinggung perasaan lo. Gue cuman pengen bantu lo. Gue cuma pengen hidup gue ada fungsinya di hidup lo. Gue pengen berguna. Itu saja….dan gue nemuin sesuatu di rumah Profesor Latiefa….gue pengin memastikan….gue nemu foto….”
Suara dentuman menerjang. Panggilan terputus bersamaan suara tawa dari Wayan yang lamat-lamat menghilang.
Mobil Wayan berhasil diangkat. Bergegas, Genta menuju mobil yang sudah ringsek itu.
“Maaf anda siapa ya?” salah seorang petugas penyelamat sempat menahannya.
“Saya dari laboratorium forensik,” tukas Genta tegas sembari menunjukkan kartu identitas anggota laboratorium forensik kepolisian.
Ia masuk ke bagian kursi kemudi. Bagian dashboard sudah lapuk karena Menggerayakinya dan menemukan butiran lembut garam. Berserakan.
Hidungnya membaui garam yang ia temukan. Kesimpulan melambung. Garam dapur.