Saintis

Pohon Pinus
Chapter #18

Separasi dan Purifikasi

Perpisahan terkadang diperlukan. Sebagai wujud penyesuaian. Atau awal pendefinisian.

Dari pemisahan didapatkan kemurnian. Maka tidak ada alasan untuk membenci perpisahan.

 

Beberapa hari terlewati. Kejelasan sudah didapatkan dengan cepat dan tuntas. Dari penyidikkan, bukti dan saksi.

Menurut hasil autopsi, Wayan diracuni gas tawa. Tersangka pembunuhan mengerucut pada Profesor Latiefa. Bukti ditemukan dari sisa racikan parfum di kamarnya. Petugas menemukan bahan-bahan untuk membuat gas tawa.

Genta sempat terpuruk. Ia menyesalkan dirinya yang tidak mempercayai Wayan. Segalanya sudah terjadi, meski lisannya berusaha merelakan, tetapi hatinya masih saja tak terima. Kesedihan karena kehilangan dua orang yang berjasa di hidupnya, terlarut dalam pikirannya.

Sunyi di apartemennya, dalam kesendirian, Genta meratap. Saat matanya terpejam, pandangannya langgas membawanya pada suatu tempat asing. Ia melihat bayangan sang ayah mencorat-coret sesuatu dalam sebuah buku. Deretan huruf yang tidak ia kenali. Tersusun membentuk bahasa yang tak pernah ia selami. Satu kosakata menyadarkan Genta bahwa sang ayah menyusun aksara dalam bahasa Latin.

Keasingan itu membawa pandangan Genta untuk mempelajari tulisan sang ayah. Struktur-struktur senyawa asing tertuang di sana. Bahkan ia belum pernah melihat senyawa-senyawa itu di basis data IUPAC[1].

Bayangan Bayu kemudian berpindah ke sebuah lab asing. Genta berusaha mengingat lab itu. Namun tak satupun kandar kilas di kepalanya menyimpan memori tentang lab itu.

Bayu memasukkan beberapa zat yang telah ia buat. Memindahkannya ke petri, lalu mengujinya pada sel yang ditanamkan ke mencit. Mencit itu berubah, sebuah evolusi terjadi.

Genta terkesiap, pandangannya merobek hatinya. Kenangan yang menyelinap tanpa sebab. Memori yang tidak diketahui mengendap menyibak fakta tak terungkap. Sang ayahlah pembuat serum mutagen itu.

Bagian dari mimpinya, menariknya pada tangan Profesor Latiefa yang mempraktikan rancangan Bayu. Genta menemukan jurnal Bayu pada Profesor Latiefa, namun ada halaman kosong yang belum terselesaikan.

Seperti saat datang tanpa permisi, bayangan itu pun menghilang tanpa pamit.

Genta terbangun dan mendapati dirinya berada di apartemennya. Keringat dingin bergulir turun dari pelipis. Resah mengguncang hati yang goyah. Film yang diputar dalam mimpinya menyisakan penasaran.

Seketika Genta melompat dari tempatnya dan membuka laptopnya. Ia pun mengakses beberapa jurnal penelitian sang ayah di internet. Ratusan jurnal muncul. Lantas, ia mengorek satu per satu. Satu jurnal sempat terlewat ketika dahulu ia hanya fokus mencari urutan basa nitrogen pada hasil penelitian ayahnya. Satu riset tentang kapsid virus buatan Bayu terunduh. Penelitian itu tentang pembuatan sebuah kapsid virus yang bersifat termostabil.

Ia lantas menganalisis hasilnya, menyesuakian dengan hitungan-hitungan biokomputasi. Struktur kapsid desain Bayu dapat dikenali pada program, hasilnya sama dengan kapsid virus yang telah ia teliti.

Kengerian muncul. Kejutan besar menendang dadanya. Berawal dari mimpi yang entah bagaimana memperkuat intuisi. Hingga ia menemukan bukti bahwa ayahnya mungkin ada kaitannya dengan semua ini.

Jika sang ayah juga tersangka, orang yang paling ia percaya –Profesor Latiefa –juga telah menipunya. Maka kepercayaannya pada orang-orang di sekitarnya mengkrisis. Mungkin saja ada orang di luar sana–entah siapa, menginginkan ia terlibat pada kasus ini.

 

*****

 

Amarah mencengkram. Merubuhkan satu keping akal sehat dan mendorong yang lain terjatuh tanpa jeda serupa susunan domino. Darah panas Daniar mendidih sampai ke ubun-ubun. Diraihnya apapun di hadapannya untuk kemudian ia serakkan sepuasnya.

Sekretarisnya hanya terpaku. Tanpa henti membaca doa-doa penenang di ujung lidah. Takut.

“Apa maksud orang itu keluar seenaknya. Apa dia tidak tahu, berapa uang yang sudah kita gelontorkan untuk proyek ini!” Daniar membuas.

“Maaf, Pak. Tapi beliau tidak meninggalkan pesan apapun pagi ini selain berita acara pengunduran dirinya,” sang sekretaris menjelaskan dengan gemeretak gigi gemetar. Belum pernah ia melihat Daniar semarah ini.

Paginya, Sekretaris Daniar melakukan aktivitas seperti pagi-pagi sebelumnya. Hingga ia mendapatkan surat pengunduran diri dari Genta tanpa mencantumkan alasan yang jelas.

Sekretaris Daniar tidak bisa menghalangi keluarnya Genta dari Artemis, karena dibatasi aturan. Genta tidak terikat kontrak sedari awal. Tidak ada hukum ataupun hak bagi Artemis untuk menghalangi Genta.

Surat pun sampai di tangan bosnya sebagai pemantik amarah. Dan kini Sekretaris Daniar dihadapkan kengerian yang paling menegangkan urat takut. Marahnya orang yang terkenal sabar.

Daniar menekan meja dengan kedua tangannya untuk menopang tubuhnya. Matanya kosong dengan sisa urat yang masih menonjol tipis di pelipis.

“Dia ingin memancing masalah. Baiklah. Telfon kepolisian. Buat berita acara tentang penuntutan.”

Sekretaris Daniar mengangguk. Menurut. Meski ia tidak tahu apa rencana Daniar. Tetapi bukan tentang kontrak. Tentang hal lain yang direncanakan Daniar untuk kembali mengikat Genta.

Daniar meraih gawainya. Menekan satu nama yang ada di layar.

“Halo, Pa. Ada masalah penting....”

 

*****

 

“Genta mengundurkan diri?” Ananta menekan setiap kata. Memastikan.

“Iya, Bu. Itu membuat Pak Daniar marah-marah pagi ini,” sekretaris Daniar sudah menunduk. Berjaga-jaga menghadapi amarah Ananta yang mungkin lebih ganas dari Daniar. Karena seperti itulah sehari-harinya.

“Kenapa Genta tidak mengatakan pada saya juga? Saya kepala lab.”

Sekrtaris Daniar mengangkat wajahnya lamat-lamat. Tidak sesuai dugaannya.

“Beliau datang pagi-pagi sekali, Bu, ketika ibu dan Pak Daniar mungkin masih dalam perjalanan ke kantor.”

“Sekarang ke mana Pak Daniar?”

“Setelah menyuruh saya membuat berita acara untuk kepolisian, beliau langsung pergi, Bu. Saya rasa bertemu dengan presdir.”

“Kepolisian?” Ananta mendengus.

“Iya, Bu. Bapak akan menuntut Pak Genta.”

Lihat selengkapnya