Kita adalah dua unsur, bersenyawa dalam satu struktur. Teori-teori semesta berkumandang syahdu. Mematri aturan, haruslah kita saling berpasangan.
Saling melengkapi. Saling mengisi bagian-bagian rumpang.
Di setiap orbitalmu yang kosong, izinkan kuisi sepenuhnya. Agar kita terstabilkan. Menyiratkan warna-warni yang kelak mempercantik bumi.
Sudah dua hari, Genta membiarkan pikirannya mengembara mencari formula. Beruntung masih ada sisa serum yang ia bawa.
Ia mematikan gawainya agar tidak mudah dilacak. Mencoba-coba apapun yang masih bisa digunakan di laboratorium rahasia milik sang ayah. Ia menyulap tempat usang itu menjadi laboratorium sederhana.
Gagal dan bangkit kembali untuk mencoba. Dua hari bukanlah waktu yang cukup untuk membengkokkan teori. Asumsi baru selalu muncul sebagai penghalang. Atau hipotesis awal tiba-tiba bercabang di tengah jalan. Menggagalkan metode yang sudah dirancang sang kimiawan.
Belum lagi alat yang ada hanya seadanya. Ia harus mengakali setiap keterbatasan aparatus di laboratorium kuno milik Bayu. Api yang ia dapatkan dari sisa gas asetilen dalam tabung-tabung logam yang mendingin. Penyaring air sederhana untuk memurnikan air dengan waktu yang cukup lama. Atau laminar usang yang berkali-kali menghasilkan kontaminasi media dan harus disiasati berulang-ulang.
Pasir waktu tak pernah berhenti terjatuh. Lebih-lebih, celah tak pernah tersumbat. Waktu selalu memacunya untuk terus bekerja. Mencambuknya selayak majikan yang mendesak budaknya. Tidak jarang desakkan itu membuatnya kalut. Hampir 48 jam Genta tidak tertidur. Otaknya tidak membiarkan kedua matanya beristirahat.
Di laboratorium tua itu, Genta mencoba mengultur jaringan. Tak satupun tumbuh. Mati. Bercak setitik, berusaha ia tumbuhkan sebesar-besarnya. Namun yang ia lihat saat ini adalah kosong. Alat-alat konvensional sama sekali tidak mendukung.
Sejenak, Genta beristirahat. Ia duduk di sofa sembari merebahkan kedua lengannya yang mulai menjerit tegang. Didongakkan kepalanya ke langit-langit rumah. Perputaran dimensi pikirannya ikut mengambil peran menerjang kesadaran.
Kesendirian tak selamanya menyenangkan. Dicengkram suara sunyi. Berbagai suara hati bergema. Saling bersahutan. Menekan pikiran Genta yang mulai tak keruan.
Pikirnya, jika saja ayahnya tidak membuat buku itu, atau mencoba-coba membuat virus itu, mungkin kesakitan ini tidak akan terjadi. Alasan mengapa Bayu membuat virus itu, masih belum diketahui.
Segala yang dilakukan Genta. Perjanjian dengan Astaroth. Kesombongannya karena merasa jenius. Waktu yang ia buang untuk riset sekosong ini. Semua tidak menunjukkan titik yang jelas.
Semuanya percuma.
Suara ketukan pintu membangunkan Genta. Sadar. Ia berada di atas sofa. Memperhatikan sekelilingnya yang masih laboratorium ayahnya. Langit sudah gelap, memperkelam lingkungannya.
Genta mengusap kedua matanya sembari menopang tubuhnya dengan lengannya. Menekan kedua pahanya. Membuatnya semakin sadar, kini ia kembali tertarik ke dunia nyata.
Suara ketukan kembali terdengar. Genta mengangkat wajahnya. Mengernyitkan pelipis tipis-tipis.
Siapa?
Dengan langkah sigap dan waspada, Genta mengendap menuju pintu serambi. Ia sudah pasang badan. Berjaga-jaga kalau rumahnya kedatangan pihak kepolisian.
Dengan was-was, segera Genta membuka pintu teras. Semburat wajahnya dibuat tegang dengan kedatangan Ananta. Terkejut.
“Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini? Sama siapa?” Pandangan Genta beredar ke pekarangan depan rumahnya yang hanya diramaikan suara jangkrik dan semak-semak yang tak lagi hijau karena terlingkupi gelap malam.
“Sendiri. Aku ingin memastikan keadaanmu.”
Genta terdiam. Memandang wajah Ananta yang berseri ketika menatap dirinya. Sorotan rindu yang tertahan, terpendar dari kedua mata itu. Menenangkan.
“Masuklah.”
Genta menggamit tangan Ananta. Menggandengnya masuk. Menutup pintu rapat-rapat. Tanpa mengizinkan angin malam pun menguping perbincangan mereka.
Satu sentuhan. Kulit yang kasar penuh corak perjuangan. Mengikis lembut. Meluluh lantakkan hati yang merindu.
Ananta menunduk malu.
Genta melepaskan genggamannya. Memandang wajah Ananta dengan cemas.
“Bagaimana kamu bisa tahu aku di sini?”
Ananta terbangun menyadarkan diri, “Alfa yang memberi tahu. Begitu juga dengan penyakit paru-parumu.”
Genta berdecak. Mendengus kesal sembari menekan nama Alfa dalam satu bisikan.
“Jangan marah pada Alfa. Aku yang memaksanya.”
“Untuk apa kamu datang ke sini?”
“Memastikan kamu tidak apa-apa.”
“Aku baik-baik saja. Sudah kan? Besok kembalilah ke Jakarta.”
“Kamu tidak tahu perjuanganku kemari? Aku diam-diam tanpa Papa dan Daniar tahu.”
“Kenapa kamu senekat itu?”
“Kamu menghilang tanpa pamit, aku mencemaskanmu.”
“Dari apa?”
Ananta tercenung beberapa saat, “apakah butuh alasan untuk merasa cemas?” Atau hanya karena aku ingin sekali bertemu. Aku merindu.
“Kamu tidak bisa berada di sini.”
“Kenapa? Karena Daniar menyebarkan kebohongan kalau kamu yang membuat penyakit itu? Aku lebih percaya padamu. Kamu lihat kan kalau aku datang sendiri.”
“Ana, mengertilah, bukan itu yang aku maksud,” Genta mengalihkan pandangannya. Ia tidak terlalu kuat memandang kelemahan Ananta. Ia lumpuh karena itu, “ini rumit.”
“Apa maksudmu rumit?”
“Aku rumit.”
“Apa yang membuatmu rumit? Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu tidak bercerita?”
“Aku tidak bisa bercerita. Aku sedang krisis kepercayaan.”
“Kamu tidak percaya padaku? Setelah yang kita lewati? Bahkan sampai saat ini aku di hadapanmu? Ini sebabnya kamu pergi dari Artemis tanpa aku tahu?”
“Bukan begitu....” Aku hanya tidak sanggup.
“Aku percaya padamu. Begitu mudahnya.”
Genta memberanikan diri menatap kedua mata Ananta. Tatapan Ananta begitu dalam dan meyakinkan. Tersirat rasa lelah di sana tetapi masih sanggup untuk berjuang.
“Kenapa kamu mempermalukan dirimu sendiri?”
“Kamu ini kenapa? Aku sudah menerimamu apa adanya, kenapa kamu tidak peka? Apa mesti diperjelas!” cetus Ananta dengan tegas. Dengan binar mata yang meyakinkan. Penuh makna-makna tentang keteguhan hati.
Keyakinan mulai tumbuh subur. Seberkas kata mulai tersusun rapi dalam pikiran Genta yang beranjak tentram. Ia siap mengambil risiko jikalau pikiran Ananta berubah mengenai dirinya. Bahkan jika ia harus berakhir dengan label anak ilmuwan gila dari gadis cantik di hadapannya.