Saintis

Pohon Pinus
Chapter #20

Reaksi Adisi

Genggaman tangan kita tak lagi erat. Sudah terasa hubungan kita tak lagi rekat. Jauh tidak selamanya tentang jarak. Adalah tentang hati yang tak lagi dekat, meski dua raga saling melekat. Mungkin saja kata-kata atau fluktuasi suasana. Mereka berhasil memisahkan ikatan antara kita

 

Fajar mengembang menerabaskan cahaya di antara geliat bunga-bunga yang merekah menyongsong hangat. Menopang lemahnya kaki Ananta dan Genta yang semalaman berjuang tanpa rehat.

Mereka harus menyelundupkan diri di dalam truk sayur untuk menuju kota. Berjalan beberapa kilo untuk sampai bandara. Dan meminta bantuan Aidan untuk kembali mengamankan langkah Genta supaya sampai ke Jakarta.

Genta menyutujui ide Ananta untuk mengamankan diri di rumah Erik. Tempat itu bisa jadi sangat aman untuk mereka bersembunyi sementara waktu. Sampai pada separuh lelah, mereka harus merambat ke Bogor untuk berlindung di sana.

Kaki-kaki lelah itu sampai di depan rumah Erik. Bangunan kokoh yang begitu sepi. Unik dan asri. Dirimbuni deretan cemara dan akasia yang memperindang halaman depan.

Rumah itu sepi. Sungguh sebuah kebiasaan tak biasa dari seseorang yang cukup kaya di kota metropolitan. Rumah yang terpencil di kaki bukit. Tanpa dijaga. Dan tanpa banyak pelayan yang berlalu lalang. Rumah sebesar itu hanya ditinggali satu orang pria bujang seorang diri.

Ananta menekan bel pintu. Irama dering sudah merambang. Erik menyambut mereka dengan tatapan terkejut dan hati gusar. Sebagian kesadarannya masih dikekang rumitnya nikmat semalam.

“Kami butuh bantuan,” cetus Ananta menodong permintaan.

Melihat tamu-tamunya yang lunyai disertai lebam sana-sini, mengutuhkan kesadaran Erik. Seketika.

“Ayo masuk,” ajak Erik tanpa pikir panjang.

Tak lama kemudian sosok Alfa menuruni tangga dan bertatap muka dengan Genta dan Ananta. Saling terkejut.

“Alfa, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Genta.

“Kami berdiskusi,” sahut Erik sembari tersenyum penuh rahasia.

Alfa hanya melempar senyum hangat kepada Genta. Seperti biasa. Senyuman tanpa beban. Tanpa makna. Hanya kehangatan yang menguar.

“Akan aku ceritakan, setelah itu kami mendengarkan ceritamu,” Alfa menambahkan.

Erik menepuk pelipisnya sembari mencibir. Wajahnya memucat.

Genta termangu. Menapaki kembali langkahnya menuju ruang keluarga. Ia kini terduduk di antara rasa-rasa kaku yang membekukan suasana. Canggung.

 

*****

 

Aroma chamomile dan daun mint dalam cangkir minum Ananta, menenangkan pikiran. Tetapi tidak cukup kuat meredakan gejolak sedih dan amarah yang berkobar bersama keingintahuannya. Ia mereguk katekin yang terkandung pada tiap-tiap seduhan. Menjelma sebagai antidepresan paling ampuh baginya.

Mereka saling bertukar cerita. Genta menjelaskan kejadian yang telah dilaluinya bersama Ananta. Dihadang lelah sampai ke mana langkah kakinya membawa dan berhenti.

“Lantas, apa yang mereka inginkan?” tanya Alfa pada Ananta.

“Mereka hanya menyerang, Daniar, salah satu suruhan Papaku, bilang untuk tidak menghalanginya membawa Genta.”

“Apa karena Genta berstatus buron?”

“Tidak. Jika karena itu, mereka seharusnya membawa polisi untuk datang ke lokasi.”

“Apa mereka bergerak sendiri?”

Ananta menggeleng.

Guys, gue dapat sesuatu,” sahut Erik menunjuk laptopnya.

Sebuah artikel ditemukan. Memberitakan sejarah usang yang berusaha dilupakan. Dua puluh enam tahun lalu, sebuah organisasi terlarang yang mempraktikkan pseudosains dan diduga membahayakan banyak orang telah dibubarkan. Organisasi itu melakukan praktik okultisme dan menghubungkannya dengan ilmu pengetahuan modern. Ironisnya, praktik itu dilakukan oleh saintis-saintis negara yang menorehkan banyak prestasi. Meski sudah dibubarkan, praktik itu masih dilakukan di bawah tanah. Hingga satu waktu, pergerakkan besar mereka dengan rencana membumihanguskan masyarakat dengan senjata biologis, tercium oleh pemerintah. Seluruh saintis itu dihukum mati.

Genta melihat beberapa daftar saintis dan foto-foto lawas anggota organisasi itu. Namun, ia tidak menemukan nama ayahnya atau Prof Latiefa.

“Kenapa dengan berita ini?” tanya Ananta.

“Ini berita cukup lama. Saat krisis moneter, waktu itu, Genta pindah ke Yogyakarta. Gue nemu setelah mencari hubungan Dewan Ilmuwan Negara, Artemis dan ayah Genta lalu diarahkan ke artikel ini. Nama organisasinya Alkimia dan mayoritas anggotanya dari Dewan Ilmuwan Negara.”

Lihat selengkapnya