Kita dihadapkan berbagai rupa dan kata. Kata-kata manis merayu. Melambungkan puji namun hati memaki. Dunia hanya memuat kemunafikkan yang terbungkus rapi.
Kepalsuan berkedok pertemanan. Musuh yang memberi pertolongan. Dan rahasia yang disimpan rapat tak lebih dari bualan.
Kebohongan sudah lama mengendap. Hati yang lelah, jenuh berharap.
“Mereka menuju Artemis,” Erik mengabari, “mereka menemukan ruangan lain di lab terpadu dari sebuah denah. Mereka pasti sudah curiga dengan presdir.”
“Kalau begitu benar, presdir menyembunyikan sesuatu,” desis Genta. Ia lalu mengecek layar laptop, “hei Erik, ada yang aneh.”
“Kenapa?”
“Perhatikan kalender di jam digital ini. Tertera tanggal kemarin. Jam nya juga menunjukkan pukul empat sedangkan saat ini pukul enam sore.”
Erik berdecak, “Sial, detail ini terlewat. Ananta dijebak. Kodenya sudah dibajak,” serunya.
“Kita ke Artemis sekarang sambil menyusun rencana di mobil. Lu peringatkan Ananta.”
*****
“Lihat pintu itu,” Ananta menunjuk pada sebuah pintu dari balik drum-drum yang tak lagi disusun bertumpuk.
Ia dan Daniar saling bertatapan. Mereka bersepakat untuk mencari tahu apa yang tersimpan di dalam.
“Kalau sampai dugaanmu salah dan kamu membuatku malu. Aku tidak akan memaafkanmu,” desis Daniar.
Mereka bergeser masuk dan menemukan sebuah laboratorium dalam ruangan itu.
“Lab lagi? Untuk apa Papa membangun lab ini?” gumam Ananta.
Ia melihat deretan tabung dan cawan petri disusun berderet di atas meja kerja. Ia mendapati seluruh alat-alat gelas itu, telah dinamai dengan kode-kode yang tidak bisa ia pahami.
Daniar meraih sebuah buku usang dengan tulisan berbahasa latin yang tidak ia ketahui maknanya.
Ananta menangkap bayangan Daniar, “Buku apa itu?”
Daniar menggeleng.
Buku itu berpindah ke tangan Ananta. Ia membuka setiap halaman. Seluruhnya berisi rancangan percobaan dan tersemat nama Bayu di sana.
“Well, kalian menemukan ruangan ini akhirnya,” suara Agnan memecah keheningan.
Kedua mata Ananta terbelalak. Bibirnya gemetar mencari kata-kata. Namun ketakutan berkelindan membekukan syaraf lidah.
“Papa, apa ini?” ujar Daniar.
“Daniar, Ananta. Anak-anak Papa. Ini adalah proyek Papa.”
“Proyek? Apa maksud Papa?” kata Ananta dengan getir.
“Tidakkah kalian ingin melestarikan umat manusia menjadi makhluk yang lebih kuat? Tidakkah kalian ingin membuat spesies kita menjadi makhluk imortal di puncak tertinggi rantai makanan?”
“Jadi, Papa benar-benar terlibat dalam kasus mutasi ini?”
Agnan mencincingkan mata. “Mutasi ini demi kebaikan kita. Tapi, pembuatan virus itu belum sempurna karena Bayu yang bodoh itu malah menghapus bagian akhir dari formulanya. Dan, Papa sekarang tahu bagaimana cara menyempurnakan virus itu.”
“Genta. Papa menggunakan Genta?”
Agnan tersenyum dengan pupilnya yang melebar.
“Papa mengirim Damar dan Adrian untuk menangkap Genta. Mereka juga membahayakan Ananta, Pa.”
“Mereka hanya serangga-serangga yang ingin hidup abadi. Dan ya, atas perintah Papa mereka menyerang siapapun yang menghalangi dalam upaya penangkapan Genta.”
“Bahkan termasuk pada Ananta?” potong Daniar, “Papa membiarkan mereka menyakiti Ananta. Kami anak-anak Papa.”
Agnan mendengus, “kalau begitu, bekerjasamalah. Aku membutuhkan Genta. Aku butuh isi kepalanya untuk menyelesaikan formula ini.”
“Dan menjadikan manusia sebagai bahan uji coba? Kami tidak akan melakukan itu,” sergah Daniar.
Mata Agnan tak lagi berkilauan. Tak lagi mencerminkan kemanusiaan. Ananta tak lagi melihat sosok ayahnya di hadapannya.
“Dulu, ibu kalian yang tahu wujudku seperti ini, tak lagi memandangku seperti manusia. Tatapanmu mengingatkanku padanya, Dan. Ia juga menentang rencanaku dan mengancam akan mengungkap identitasku. Oleh sebab itu aku membunuhnya?”
Air mata Daniar meleleh. Seketika pengakuan Agnan meremas hatinya.
“Aku sudah lelah berpura-pura baik.”
“Daniar, mundurlah. Dia tidak seperti Papa.”