Tubuh ini terlampau rapuh untuk melompati dunia. Pikiran ini terlewat sempit untuk menyimpulkan semesta. Waktu ini terlalu sedikit untuk menguak isi jagat raya.
Di sebuah singgahsana.
Ada entitas yang mengatur segalanya dengan sempurna. Dan kita hanya jiwa tersemat dalam raga. Terlalu lemah untuk melawan-Nya. Tak pernah cukup kuat untuk melepas genggaman-Nya
Sinar surya merekah hangat. Menerangi bumi yang sempat terlelap. Kobaran api yang meluap-luap semalam, berhasil diredakan setelah tiga jam bertarung hebat dengan puluhan liter air yang dihujamkan.
Bangunan Rumah Sakit Artemis tinggalah reruntuhan berlapis abu. Seluruh korban kebakaran meninggal. Mereka diangkut oleh petugas pemadam kebakarn beserta kepolisian.
Dua orang petugas pemadam kebakaran masih menyusuri lokasi sisa kebakaran. Barangkali mereka menemukan jenazah lain yang masih bisa diselamatkan.
Sebuah selimut api terlihat menutupi sesuatu. Suara kembang kempis napas terdengar dari sana. Kedua petugas itu saling berpandangan. Memastikan sesuatu dari balik selimut api itu.
Ketika selimut itu dibuka, betapa terkejutnya mereka melihat sosok Genta masih bernapas di sana. Dengan tubuhnya yang masih utuh tanpa goresan luka bakar. Hanya warna arang yang mencoret kulitnya di sana-sini. Pakaiannya sudah hangus terbakar sebagian. Napasnya tersengal-sengal tak beraturan.
Kedua petugas itu langsung mengalirkan oksigen ke dalam paru-paru Genta. Membopong tubuhnya menuju mobil ambulans.
Pertanyaan besar muncul dari dalam benak kedua petugas itu. Bagaimana Genta bisa masih hidup, sedangkan kobaran api begitu hebat mengamuk?
Ananta menyambut tubuh Genta yang masih lemah. Mengusap rambutnya dan mencium keningnya. Melepas tangisnya dan rasa cemas yang sempat mendera.
“Syukurlah, kamu selamat.”
Genta berusaha mendekatkan bibirnya yang tertutup alat bantu pernapasan di telinga Ananta, “Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak akan mati dengan mudah,” ujar Genta dengan suara parau dan bergetar.
Petugas medis segera menangani tubuh Genta. Ananta memandangi tubuh Genta dari balik pintu ambulans. Ia tak henti-henti mengucap rasa syukur.
*****
Genta membuka matanya. Disambut udara pendingin ruangan yang sejuk menerabas lubang hidungnya. Kedua matanya menyoroti sekitar. Ia masih terbaring di ranjang rumah sakit. Sekelumit suara membangunkannya sepenuhnya.
Ditemani Alfa dan Erik, Ananta muncul dari balik pintu luar sembari memberikan senyuman sebelum akhirnya menjatuhkan pelukkan.
“Kalian datang dari kapan?”
“Sudah sedari pagi. Aku lihat kamu tidur cukup nyenyak.”
Genta menggelengkan kepala sejenak. Menjernihkan ingatannya. Sudah satu minggu ia tinggal di rumah sakit untuk pemulihan. Namun kelelahan membekukan kesadarannya untuk beberapa lama. Genta bisa tidur hingga delapan belas jam dalam sehari. Hal itu membuatnya terkadang lupa akan waktu pagi, siang hingga malam menjelang.
“Maaf, aku tidak sadar. Bahkan aku lupa kalau ini sudah siang.”
“Bagaimana kondisimu?” tanya Alfa.
“Aku sudah merasa lebih segar. Hanya saja memang aku terlalu sering mengantuk. Lalu kalian darimana?”
“Kami menemui dokter siang ini dan dokter mengatakan kalau kamu sudah boleh pulang untuk istirahat di rumah. Pemulihan tubuhmu termasuk cepat. Dia bilang itu suatu mukjizat.” Jelas Ananta mengisyaratkan rasa takjub.
“Makanya gue sama Alfa datang buat bantu jemput elu balik ke apartemen.” Sahut Erik.
“Terimakasih.”
“Aku akan menyelesaikan administrasi.”
“Ana, tunggu.” Genta memegangi tangan Ananta erat-erat, “ada yang ingin aku bicarakan.”
Ananta kembali duduk di sisi Genta. Ia menoleh kepada Erik dan Alfa untuk beberapa saat.
“Kalau begitu biar aku dan Erik yang menyelesaikan administrasinya.”
Alfa dan Erik meninggalkan kamar. Tinggalah Genta dan Ananta diselubungi cemas. Banyak sekali pertanyaan yang membuncah di hati Ananta. Segalanya tersirat dari binar matanya yang cemerlang.
Genta mengamati kerutan lelah yang tertoreh di kelopak mata Ananta. Selama Genta terbaring di rumah sakit, bukan berarti ia tidak dapat mendengarkan berita-berita yang tersebar di luar. Tentang jatuhnya Artemis karena kecelakaan besar di rumah sakit serta laboratoriumnya. Ledakkan itu telah menewaskan para pasien mutan yang dijanjikan kesembuhan oleh Artemis. Seluruh keluarga korban menuntut keadilan. Artemis harus menghadapi hujatan beserta tuntutan keluarga korban dan negara.
Kepercayaan publik terhadap Artemis yang semakin menurun menggeser Artemis pada tubir jurang keterpurukkan. Artemis terancam runtuh. Semua itu mungkin membuat Ananta harus memikirkan cara bertanggungjawab dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Artemis. Genta yakin, Ananta menahan tekanan itu sendiri.
Genta mengusap jari jemari Ananta yang selembut sutra. “Aku minta maaf. Aku tidak bisa menyelamatkan presdir dan pasien yang lain. Karenaku mereka semua….Aku benar-benar menyesal.”
“Sudahlah. Lagi pula mutasi itu tidak dapat disembuhkan, bukan? Kanker memang harus dibunuh sampai ke intinya,” Ananta menggenggam tangan Genta. Memperkuat, “ngomong-ngomong, aku ingin tahu. Bagaimana Papaku meninggal? Bukan maksudku membahasnya untuk membuatmu tambah merasa bersalah. Aku hanya ingin tahu, bagaimana dia bisa berubah seperti itu dan monster itu bagaimana kamu melumpuhkannya sampai akhirnya kamu bisa membuat ledakkan?”
Genta dapat menyaksikan, Ananta berusaha menutupi kesedihannya karena kehilangan dua orang yang paling ia cintai di dunia.
“Presdir menjadikan dirinya sebagai bahan percobaan. Ia menyuntikkan sel kanker ke dalam tubuhnya, kemudian menyuntikkan virus mutagen buatan ayahku. Virus buatan ayahku adalah mutagen yang berhasil untuk sel-sel kanker terdiferensiasi. Tapi, juga menggugah sel kanker untuk hidup menguasai inangnya dan mengambil alih hidup presdir.
“Sel kanker itu ingin menjadikan spesiesnya bertambah, ia berusaha membuat virus-virus lain dari desain eksperimen ayahku. Tapi, ayahku menyembunyikannya. Presdir hanya mendapat sebagian informasi itu dan berusaha mengembangkannya sendiri dengan Prof Latiefa. Hanya saja, punya mereka gagal.
“Virus yang gagal itu disimpan berderet di meja laboratorium. Aku pun menggunakannya untuk melumpuhkan presdir. Entahlah, mungkin ada reaksi penolakkan dari sel kanker yang telah bermutasi pada diri presdir dengan virus gagal itu, sehingga membuat Presdir tewas.”
Ananta menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan gemetar. Gelombang yang terasa sampai di kulit Genta dan membuatnya meremang. Ia memahami kesedihan gadis itu.
“Aku tidak tahu kalau aku sudah hidup bertahun-tahun bersama monster. Membelanya, bahkan memanggilnya Papa. Dan sekarang, aku kehilangan saudaraku,” air mata bergulir turun dari pipi Ananta.
Dengan tangannya yang masih lega, Genta mengusap air mata yang mengalir percuma di wajah Ananta. Memandangnya dalam-dalam, “Aku akan selalu ada untukmu. Percayalah padaku.”
Ananta tersenyum simpul, “aku sangat memercayaimu.” Sejenak Ananta menahan pandangannya. Tajam dan mendalam, “Genta, ada satu hal yang sangat ingin kuketahui darimu. Ceritakan padaku. Bagaimana kamu bisa selamat?”
“Aku akan menceritakannya….” Desisnya.
Genta menceritakan segalanya yang muncul di kepalanya ketika Agnan mencabik-cabik tubuhnya. Ia tidak ingin menutupi rahasia Agnan. Ananta berhak tahu. Tentang Alkimiawan, siapa Astaroth, jual beli yang dilakukan dirinya untuk kesembuhan dan Agnan untuk kekayaan. Semuanya. Kecuali waktu kematiannya. Ia lewatkan. Dan ia simpan rapat-rapat.
*****
Kilatan lampu kamera mendadak menjauh ketika para pengawal Ananta meminta para wartawan untuk mundur.
Ditemani Genta, Ananta menghadapi berbagai macam pertanyaan dari wartawan kepadanya. Beberapa pertanyaan juga diajukan kepada pihak Dewan Ilmuwan Negara. Tentang mutasi. Tentang penyebabnya. Tentang kecelakaan dan musnahnya para mutan.
Ananta menjawabnya tanpa gelisah. Ia juga menjajikan dana ganti rugi untuk keluarga korban meski tak akan pernah cukup untuk mengganti nyawa seseorang. Namun hanya hal itu yang bisa ia perbuat. Semua diungkapkan meski beberapa hal dirahasiakan tentang siapa pembuat virus mutasi tersebut. Hal itu akan memperpanjang masalah dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap Dewan Ilmuwan Negara.
Ananta mewakili Artemis juga membersihkan nama Genta dari segala tuduhan kakaknya. Menarik kembali segala macam tuntutan.