Sajadah di Pagar Rumah

hidayatullah
Chapter #2

Wiliam Pribumi Nusantara

“Pemirsa, di 25 tahun memperingati tragedi Mei 98, Seniman keturunan Tionghoa kebanggaan Republik ini, Wiliam Pribumi Nusantara alias Om Liem, masih membuka sayembara untuk mencari pahalawan yang menyelamatkan nyawa beliau dari kerusuhan saat itu. Ciri-ciri penolong Om Liem akan kami siarkan rutin setiap pergantian program acara. Akan kami sebarkan di semua media sosial kami. Bagi siapa pun yang merasa tahu dan mengenal orang tersebut akan diberi imbalan yang layak, tentu saja jika informasinya bukan hoax. Terima kasih.”

Pet!

Om Liem mematikan televisi dengan kesal. Seniman keturunan Tionghoa kebanggaan Republik? Siapa sih yang membuat kalimat senorak itu? Dia harus mengingatkan Gun untuk memprotes stasiun TV berita ini. Mereka dibayar tak murah, dan setelah 25 tahun tanpa perkembangan berarti agaknya dia harus mengakui kebenaran kata-kata Lukas, anaknya semata wayang, tadi pagi.

***

“Ngapain sih, Pih, bakar duit tiap tahun buat nyari pribumi yang gak jelas?”

“HEH! Pribumi itu yang bikin Papi hidup. Mami dan Papi jadi bisa bikin kamu ada, ngerti?!”

“Ya, Luki paham. Tapi Papi kan udah banyak nyumbang buat sekolahan, rumah ibadah, bantuan inilah itulah, semuanya buat pribumi-pribumi pemalas itu juga, kan?”

“Shut up! I don’t use your money! Go with your own bussiness. Jangan urus Papi.”

Luki mau menjawab, tapi usapan lembut Mei, istrinya, yang disertai gelengan kepala Mami di hadapan membuatnya mengurungkan niatnya. Ia menenggak habis susu beruangnya lalu bangkit sambil mencium kening istrinya dan mencium takzim tangan Maminya.

“Berangkat ya, Mei. Mih.”

Mei menatap suaminya lalu mengerling ke arah Om Liem, mertuanya. Mami hanya tersenyum samar tak menyiratkan apa-apa.

“Luki berangkat ya, Pih.”

“Hemmm.”

Mei menghela napas lega. Lewat lagi satu hari dengan dua lelaki dewasa yang bertingkah kekanakan dan ibu mertua yang kelihatan menikmati adegan ini setiap hari. Hari-hari di rumah keluarga ini memang dijamin tak akan kekurangan materi tujuh turunan, tapi soal kehangatan jangan ditanya.  Bahkan kutub utara pun bisa minder dengan dinginnya suasana rumah mewah di kawasan Menteng ini.

***

Jam sembilan tepat Om Liem sudah ada di kantor pribadinya, gudang yang disulap jadi kantor merangkap ruang lukis sejak tiga tahun lalu. Sejak wabah COVID 19 menyerang.

“Pandemi itu bikin kerja jadi efisien. Gak perlu ketemu kalo gak perlu-perlu amat. Kalo bisa lewat zoom ngapain juga ngabisin umur nembus kemacetan ke tempat meeting?”

Di ruangan yang jembar dan asri, Om Liem menemui Gunadi Soegiarto, asisten pribadi merangkap pengacara Om Liem sejak 10 tahun terakhir.

“Gun.”

“Saya ngerti Om. Kata-kata ‘keturunan Tionghoa kebanggaan Republik’, kan? Tadi dalam perjalanan ke sini saya sudah protes ke stasiun Indo TV-nya. Maaf ya, Om. Padahal kata-kata yang terakhir saya approve tidak seperti itu.”

“Hem.”

Jawaban gumaman khas Om Liem yang artinya dia paham tapi tak peduli dengan alasan yang diajukan lawan bicara. Gun kesal, Direktur Indo TV yang baru ini memang perlu dikoreksi inisiatifnya, dia sama sekali salah menilai Om Liem. Gunadi geram sekali dengan masalah koordinasi di televisi ini, setiap pergantian Direktur Indo TV selalu saja terjadi kekeliruan tak perlu semacam ini.

“Beliau ini bukan kayak orang kaya kebanyakan, Bos. Beliau paling anti dijilat.”

“Loh, menjilat? Bukan begitu maksud saya, Mas Gun?!”

Lihat selengkapnya