Sajadah di Pagar Rumah

hidayatullah
Chapter #3

Bruce Lin

 Hubungan Om Liem dan Cik Linda di rumah cenderung ‘unik’ dan tidak layak tayang di negeri yang memuja sopan santun ini. Untunglah Cik Linda seperti punya kepribadian ganda, ia tampil beda jika bersama Om Liem di luar keluarga inti, terlebih di depan media.

“Lo sekarang udah jadi tokoh penting Liem, orang harus hormat sama, lo. Terutama pemimpin-pemimpin yang ngaku asli pribumi itu.” Itu yang dibilang Cik Linda pada suaminya saat mempertanyakan, kenapa di depan orang lain istrinya memperlakukannya berbeda dengan di rumah.

“Ngapain sih pake pri-non pri? Kagak belajar dari 98, apa?” Om Liem memang paling tak suka jika ada yang menyebut dalam percakapan atau tulisan Pribumi-Non Pribumi.

“Alah biar lo kagak mau ngebeda-bedain pribumi-non pribumi, tetep bakalan ada, Liem. Lo lihat iklan nyari Bang Ali yang lo bikin aja, masih ada kata-kata ‘keturunan Tionghoa’.”

Om Liem diam. Kemarahannya adalah kemarahan yang berdasar dari ketakutan. Di buli sejak masa SD hingga SMA hanya karena bermata sipit membuat Liem remaja punya cita-cita memperistri perempuan pribumi.

“Ya, biar ntar anak gue nggak terlalu Cina bangetlah tampangnya, susah hidup jadi Cina di sini.”

***

Om Liem dan istrinya yang dikenal masyarakat, adalah pasangan yang tampil representatif sebagai filantropis yang punya jiwa nasionalis. Tidak seperti para konglomerat lain yang memajang hanya foto dirinya sendiri di media, Om Liem selalu dan hanya selalu mau diwawancarai berdua dengan istrinya tersebut.

“Wah kalo kagak ada dia, saya udah jadi gelandangan. Setahun loh, hidup kita bertahan dengan istri saya keliling jualan mi ayam.” Om Liem menatap Cik Linda dengan tulus.

Sementara yang ditatap tersenyum penuh akal bulus. Dia hapal luar kepala bagaimana mengakal-akali media. Cik Linda balik menatap mesra sang suami di bawah tatapan banyak kamera.

Para wartawan yang hadir di konfrensi Pers peresmian cabang Galeri Seni 98 ini pun menatap kagum ke arah dua pasangan yang bahkan selalu tampil berpegangan tangan setiap ada kesempatan tampil di depan orang banyak.

Cik Linda tahu bagaimana tampil sebagai media darling. Sebagai ratu rumah tangga, Cik Linda adalah singa betina bermulut pedas, maka di depan TV ia menjelma istri yang manis semenggemaskan kucing anggora. Ia tersenyum sambil menangkupkan tangan kanannya di depan bibir. Memilih kata-kata yang sepintas seperti tanpa dipikir. 

“Tahu, nggak? Papi ini pernah gagal bunuh diri karena kehabisan minyak tanah.”

Om Liem tak mampu menutupi keterkejutannya, kisah semuram ini diangkat di depan begini banyak wartawan. Genggaman tangan yang mengencang dari Cik Linda adalah pertanda untuk Om Liem agar mengikuti saja arah langgam permainan yang dia mainkan. 

Berdasarkan pengalaman hidup, Om Liem -lagi-lagi- mempercayakan pasangan tercintanya tersebut sambil tersenyum lembut. Sambil mengingat-ngingat peristiwa paling berkabut pasca 98.  Di mana ia merasa kondisi jiwanya ada pada titik terbawah.

***

Juli 1998

Om Liem ingat betul saat itu. Saat-saat keuletan darah Tionghoanya menguap bersama asap yang menghanguskan toko kelontongnya di Glodok. Semangatnya sempurna lenyap ketika tas penuh uang hasil simpanannya selama ini raib. Lenyap entah ke mana. Surat berharga yang disatukan bersama dalam satu tas itu pun ikutan sirna.

Dan mengurus surat di saat seperti ini, dengan mata sesipit ini bisa dipastikan birokrasi akan berjalan seperti siput. Apalagi jika mereka tahu, dia adalah Cina korban kerusuhan yang tak lagi punya simpanan. Bagaikan sapi kurus yang tak bisa lagi diperah susunya.

Sinar Om Liem makin redup. Simpanan satu-satunya adalah perhiasan yang melekat di badan Cik Linda. Cincin kawin, giwang dan kalung salib emas pun dijual untuk modal.

“Tuhan juga paham, kita lagi butuh.”

Begitu yang dikatakan Cik Linda waktu Om Liem berkerut dahi melihat salib emas hadiah ulang tahun perkawinan ikut disertakan dalam penjualan. Om Liem pun setuju jika mereka sedang butuh, tapi dia tak setuju kalau Tuhan paham.

“Kayaknya Tuhan marah sama kita, Mi.”

“Kenapa gitu?”

“Ya, kita kagak mau ngakuin Tuhan kita. Malah gantung sajadah biar kagak dijarah.”

“Kita masih dikasih hidup, itu bukti DIA kagak marah. Tuhan udah ngirim Bang Ali buat nolong. Kita cuma coba bertahan hidup, Liem.”

Om Liem termangu. Masih tidak yakin dengan pernyataan istrinya. Pikiran marah dan pasrahnya malah memilih membuktikan sendiri dengan mencoba bunuh diri. Percobaan yang gagal dengan sempurna, sebab persediaan baygon dan minyak tanah di rumah sudah habis. 

Saat Om Liem memilih menggantung diri dengan tambang di plafon rumah, ia pun jatuh ke bawah. Entah karena ia terlalu berat atau plafon kontrakan yang sudah lapuk. Sialnya belum juga dia bangun dari keterkejutannya, isitrinya sudah menghambur masuk.

“Hahahaha, Liem Liem. Lo emang mau? Di dunia berhasil selamat dari api eh malah dipanggang di neraka gara-gara bunuh diri?”

Om Liem menunduk. Kali ini kata-kata menusuk dari istrinya makin membuatnya terpuruk. Istrinya memang mewarisi bibir ceplas ceplos dari suku Betawi.

***

Lihat selengkapnya