Om Liem memilih tak melayani berondongan pertanyaan istrinya setelah jumpa pers.
“Liem, mau lo apa, sih?”
Yang ditanya malah masuk terus ke ruang kerja, memasang kanvas kosong pertanda paling mutlak di rumah ini kalau ia tak mau diganggu. Bahkan oleh Cik Linda sekalipun.
Tetapi Cik Linda masih gemas dengan tingkah suaminya, inisiatif yang dipikirnya akan dihargai ternyata malah dihadapi dengan diam, “Susah diajak majunya. Kalo kita cuman jadi pengusaha, sampe kapan juga bakal diperes sama pribumi-pribumi politik itu, Liem? Kalo gak mau diperes jangan cuman jadi pengusaha, jadi penguasa.”
Liem masih tak bicara, ia sudah berganti kaus swan* kebanggaannya yang sudah penuh noda cat warna-warni. Baju Kerja. Liem duduk dengan khidmat di depan kanvas sementara Cik Linda menatapnya putus asa.
“Ya udah. Pokoknya, udah ada orang yang mau dukung lo jadi DKI satu.”
Om Liem mendelik ke arah istrinya.
“Oke. Pasti lo bakal ngomongin Ahok**, kan? Ya, bedalah. Kita punya duit. Modal awal nyalon cuman go pek tiao (Limaratus juta). Murah punya, kan? Gak ada apa-apanya dibanding harga lukisan lo.”
“Jangankan go pek tiao, go tun (Lima rupiah) aja gak bakalan gue kasih.”
“Paling nggak anggotta DPR ya, Liem? Pendukung lo banyak.” Cik Linda mengeluarkan harapan terakhirnya.
Om Liem hanya diam, menghempaskan dirinya di kursi kebesarannya. Kursi seniman. Kursi pesanan hasil rancangan ahli kayu asal Jepara yang ketinggiannya bisa disetel, dibalut sofa empuk. Seniman juga butuh kenyamanan dalam bekerja bukan? Tapi kini yang membuat tak nyaman adalah ambisi istrinya. Om Liem mulai meraih tube cat minyak warna merah menyala, pertanda suara hatinya yang marah.
Cik Linda melihat Om Liem diam dan mulai menyapukan warna merah di kanvas. Saat terdesak dan tak ingin mengeluarkan kata yang menyakitkan, suaminya itu memang memilih mengalihkannya dengan warna-warni cat minyak.
Cik Linda menghela napas, ia menyadari mereka berdua bagai Yin dan Yang. Ia otak kiri dan Liem otak kanan. Cik linda mengerti kode merah yang diberikan pasangan hidupnya, mengusap punggung suaminya penuh rasa pemahaman lalu meninggalkan Liem tenggelam dengan satu lagi master piece “Sajadah di Pagar Rumah” yang kali ini agaknya bernuansa merah-menyala.
Baguslah, variasi yang bagus setelah puluhan lukisan berwarna muram, pikir Cik Linda. Agaknya koleksi lukisan Liem kali ini bisa ia jual beberapa miliar di atas harga jual lukisan Liem yang lain dengan embel-embel nuansa dan sapuan warna yang berbeda. Cik Linda tersenyum puas. Sementara Om Liem di dalam kamar kerja menumpahkan kegundahannya dengan sapuan kuas.
***
“Berapa jumlah kandidat Bang Ali yang masuk minggu ini, Gun?”
“Setelah saya sortir, ada 5 video, Bos.”
“Cuma lima?”
“Sebenarnya jumlah yang masuk seratus lebih. Tetapi lebih dari separuhnya buat kedok minta sumbangan saja. Yang lain datanya langsung patah setelah kami crosscheck dengan data awal yang kita punya soal Bang Ali.
Om Liem tersenyum pahit. Apakah ia harus menyetujui pendapat anaknya kalau ini hanyalah kegiatan yang membuang waktu dan memunculkan barisan penipu? Atau pendapat istrinya?
“Liem, kayaknya Bang Ali yang lo cari itu udah mati deh.”
Itu pendapat yang dikatakan istrinya saat pencarian Bang Ali memasuki tahun ke-5. Kini duapuluhtahun lebih, ramalan istrinya sepertinya adalah kenyataan.
“Maaf. Om mau lihat sekarang atau nanti saja?”
Suara Gunadi mengembalikan Om Liem ke kenyataan. Di hadapannya di layar lebar TV pintar sudah terpampang lima file video dengan lima judul tak memihak: Ali_1 hingga Ali_5.
“Sekarang saja, Gun.”
***
Ali_1.
Klik Play.