Sajadah di Pagar Rumah

hidayatullah
Chapter #5

Indonesia dengan Catatan

Kedatangan Sastra Sumantri, cucu Bang Ali; pahlawan bagi keluarga Wiliam Pribumi Nusantara masih minggu depan tetapi Om Liem sudah sibuk mengadakan pertemuan dengan keluarga intinya. Maka selain Mas Gun, asisten pribadinya, hanya ada tiga orang lagi: Cik Linda istri tercinta, Luki anaknya semata wayang dan Mei menantu satu-satunya. Kerja Gunadi cukup senyap, terbukti hingga kini belum ada satu pun wartawan mengendus berita yang menggemparkan ini.

“Ini nilai beritanya di mana sih, Pi? Apa bedanya sama orang menang undian ratusan juta?”

“Ck, ya jauh beda lah, Bang Ali itu pahlawan bagi keluarga kita, khususnya Papi kamu.” Cik Linda mendelik ke arah Luki. Ia tak ingin awal pertemuan dibuka dengan perseteruan suami dan anaknya.

Om Liem menunjuk ke arah Luki mau bicara, tapi langsung dipotong dengan omongan Luki.                          

“Iya. Iya. Luki tahu lanjutannya, Pi. Kalo nggak ada beliau Luki bakal nggak ada di dunia ini. Luki ngerti dan bersyukur banget kok soal itu.”

Luki menatap Papinya yang kini sudah bisa duduk dengan lebih tenang. Luki menghela napas, bicara sambil menatap semua orang yang ada di situ.

“Tapi, apa nggak ada yang curiga ya, kenapa cucu pahlawan ini baru muncul setelah dua puluh tahun lebih Papi nyari?”

Om Liem terdiam. Dia tahu betul ada banyak kebenaran dalam kata-kata Luki. Bahkan Gunadi dan istrinya pun sudah memberi peringatan yang kurang lebih sama.

“Papi tahu. Tapi setelah duapuluh tahun lebih mencari, Papi yakin sekali dengan yang ini. Kalaupun gagal, Papi bersedia menunggu duapuluh tahun lagi. Jika Papi sudah nggak ada, pencarian akan dilanjutkan Mami didampingi Gunadi. Kalau Mami sudah tidak ada, kamu dan Mei yang melanjutkan. Lalu anak-anak kalian.”

Om Liem jeda sebentar, lalu menatap Gun yang juga merangkap kuasa hukumnya.

“Semoga kau panjang umur ya, Gun untuk mengawasi ini semua. Papi pastikan ini ada dalam surat wasiat. Papi ini punya hutang nyawa, kalau hanya waktu dan uang yang Papi korbankan. Itu sungguh tidak ada apa-apanya, bukan?”

***

Kalau ada yang Luki kagumi dari Papi itu adalah prinsip hidup beliau yang sangat kokoh. Tetapi prinsip hidupnya yang ketat jugalah yang membuat jarak antara orangtua dengan anak. Prinsiplah yang membuat Luki terlempar keluar dari urusan Yayasan dan lukisan.

“Papi sudah modali kamu dengan pendidikan dan fasilitas kelas atas. Kamu cari pengalaman dulu di luar sebanyak-banyaknya. Tanggalkan nama Papi, buktikan dulu kamu bisa berdiri karena nama kamu sendiri. Baru kamu bisa pulang ke Usaha keluarga kita sebagai orang yang pantas, bukan hanya karena satu darah sama Papi.”

Kata-kata yang mungkin kelihatan keren kalau dituls di buku motivasi dilihat Luki sebagai slogan basi yang terus diulang berkali-kali bagai iklan murahan. Saling berbantahan dengan kata-kata tajam antar mereka pun jadi keseharian.

Luki sering berpikir, Papi akan bisa mencintainya sepenuh hati kalau ia berkulit hitam dan miskin, kalau ia serupa dengan para pribumi bernasib kasihan yang selalu mendapat bantuan dari Papi.

Luki sebenarnya dibesarkan dengan nilai toleransi yang tinggi, tetapi sikap sosial Papinya yang berlebihan malah menimbulkan kecemburuan pada pribumi. Hanya  kurasi dan verifikasi dari Mas Gun dan Mami sajalah yang bisa mencegah Papi dari mengeluarkan bantuan berlebihan untuk pribumi, baik perkumpulan maupun perseorangan.

***

Luki pun membangun karir di luaran, di industri kreatif berbasis digital. Kini ia sudah di posisi yang lumayan, dapat fasilitas kendaraan dengan gaji hampir tiga digit. Harga diri Luki terangkat, merasa mampu menghasilkan uang dari hasil keringat sendiri. Yang dia tidak tahu, Papi adalah mastermind jempolan yang menggunakan jejaring koneksi agar karir Luki terangkat sewajar mungkin tanpa Luki tahu ada pengaruh Papinya di situ.

“Kenapa sih, Liem harus pake cara ribet gini buat ngedidik anak sendiri?”

“Lin, kita orang punya toko yang dibakar buat belajar. Luki punya banyak privilege yang bisa bikin dia males. Gue cuma pingin Luki sadar kalo potensi dirinya itu bukan karena gue atau lo. Gue pingin Luki punya kepercayaan diri itu.”

Cik Linda bingung, mau kagum atau gemas dengan suaminya ini. Sudah puluhan tahun hidup bersama, masih ada saja celah prinsip yang terselip, yang tak mampu sepenuhnya ia pahami dengan pola pikirnya yang praktis. Orang yang sinis akan menyebutnya oportunis.

***

Konflik yang menjadi titik balik keluarga ini adalah saat Luki bilang pada Papi dan Mami; kalau ia mau melamar Mei, pacarnya saat kuliah.

“Memangnya nggak ada gadis pribumi yang mau sama kamu, Ki?”

Di saat seperti itulah Luki meledak. Ia sudah merasa banyak mengalah atas kecintaan Papi yang berlebihan pada pribumi, tapi mengapa Papi mengutak-atik pilihan jodohnya dengan topik yang menjadi konflik utama keluarga ini sejak lama?

Hanya Maminya yang mencegah Luki mengeluarkan kata-kata tajam yang sudah disiapkan Luki di ujung lidah. Cuma Maminya yang membuat Papi bersedia memberi restu tanpa membawa persoalan pribumi. Mami juga yang memberi syarat untuk mereka berdua. Para lelaki keras kepala dalam keluarga.

“Luki, setelah menikah nanti, kamu dan Mei harus tinggal di sini. Terlalu banyak kamar kosong di rumah ini. Mami juga mau kamu mulai mempelajari bisnis keluarga kita dari dekat, dari tangan pertama.”

Luki yang mau angkat bicara tertahan tangan Mami yang mengangkat, tanda keputusannya tak bisa diganggu gugat.

Mata Mami berpindah ke Papi.

“Pih, Mami gak minta banyak. Kasih restu buat Luki dan Mei. Lu mau mereka kumpul kebo, hah? Tiap wiken kasih ajar Luki ke bisnis yang kita punya.”

Lihat selengkapnya