Sajadah di Pagar Rumah

hidayatullah
Chapter #6

Aku Bukan Multatuli

“Anda jangan ngomong sembarangan. Om Liem ini luar biasa loh kiprahnya, beliau pelukis, filantropis. Bahkan kalau buat saya pribadi yang suka baca sastra, beliau itu adalah perwujudan Multatuli dari Cina. Anda tahu nggak siapa Mulatuli?”

Dengan malas Om Liem mematikan video dan menyerahkan kembali ipad pada istrinya. Video debat orang sok pintar seringkali membuat dia gusar daripada pintar.

“Ini siapa, sih? Ngomongnya ketinggian. Papi gak pernah percaya sama penjilat kayak begitu.”

“Hahaha, Mami tahulah, makanya Papi nonton terus. Lanjutannya ada sanggahan yang bikin Papi ketawa-tawa pasti.”

Penasaran Pom Liem menerima lagi sodoran ipad, melanjutkan video yang tadi dipause.

Terlihat lawan bicara si ‘ngomong tinggi’ itu adalah bapak-bapak setengah baya, berkemeja lengan pendek dan kacamata tebal. Sama sekali tidak meyakinkan. Sementara melihat si penjilat itu, walau ngomongnya terlalu manis tapi penampilannya boleh juga;  kemeja jeans, sepatu vans dan kacamata fensi. Apalagi yang lebih keren dari akademisi yang enak dilihat?

Si bapak-bapak tersbut menatap kalem dan memastikan si gaul memperhatikan tiap kata yang dia keluarkan. Dia mengeluarkan tiap kata dengan pelan, runtut dan jelas.

“Oh ya, berarti Anda mengakui kalau sebagian besar rasnya menjajah pribumi?”

“Loh, kok Anda bilang begitu, maksud saya tidak seperti itu.”

“Anda harus kokoh kalau mau bermain analogi. Sedikit-sedikit saya tahulah Multatuli, itu nama alias dari penulis asal Belanda, Eduard Dowes Dekker penulis Novel Max Havelaar. Nah dengan logika berpikir Anda, maka Anda setuju kalau dikatakan; seperti juga Belanda pada Multatuli, maka Cina pada Om Liem juga penjajah para pribumi?”

Si gaul gelagapan, “Wah, Bung mengambilnya sepotiong-sepotong. Bahkan Pramoedya Ananta Toer sendiri bilang, kisah yang ditulis Mulatuli adalah kisah yang membunuh kolonialisme.”

“Baik.”

Si Bapak-bapak ini sepertinya benar-benar menikmati perdebatan, dia menyempatkan menyeruput dulu minuman di meja sebelum melanjutkan sanggahan. 

“Pertama tetapkan dulu panggilan Anda pada saya, tadi Anda bilang saya ini Anda? Sekarang berganti jadi, Bung? Itu cerminan dari cara berpikir yang goyah.”

Si gaul benar-benar mulai goyah, dia kehilangan ketenangannya.

“Kedua, lagi-lagi dengan logika yang sama, berarti Anda setuju kalau dikatakan; Om Liem berhasil menghapus kolonialisme Cina pada Pribumi?”

Video End.

“Hahahahahahaha. Good! Very Good. He make the opponent trapped to lose lose situation.”

“See. I know Papi like that kind of man.”

“What do you mean by that?”

“TAJAM. CERDAS dan NYINYIR!”

Ya, begitulah hari-hari Om Liem dan Cik Linda, kadang sapaan mereka Lo dan gue, kadang Papi dan Mami, bahkan kadang jika sudah intens mereka akan saling berbahasa Inggris ala mereka.

“But, you know Mami? Orang itu benar. Aku bukan Multatuli. Mami tahu sendiri bagaimana Papi aku, kan?”

“Hush, udah nggak usah bahas keburukan orang yang mati. Yang penting kan, Papi sebagai anaknya sudah berbiuat baik banget sama pribumi. Iya, kan?”

Om Liem tidak menjawab. Suasana hatinya mendadak muram, semuram hari itu, saat ia jadi multituli, bukan multatuli.

***

Ya, benar. Itu tidak salah eja. Aku jauh dari Multatuli yang diambil Eduard Douwes Dekker dari bahasa latin yang berati, aku sudah banyak menderita. Aku adalah orang cina yang Multituli, terlalu banyak bekerja mencari uang hingga tuli dengan keadaan sekitar. 

Banyak yang kuabaikan demi kenikmatan hidupku sendiri. Rasa keadilan dan rasa kemanusiaan adalah salah dua dari hal yang aku memilih tuli dari sekitar.

Sementara rasa yang memulaiku memilih tuli dan memanfaatkan kondisi ekonomiku yang lebih bagus dari pribumi adalah rasa cinta. 

***

Glodok, 1980-an.

Untuk menggali rasa bersalahku, aku harus kembali saat usiaku belasan. Seingatku aku belum memakai putih abu-abu ketika itu, masih putih biru dan bercelana pendek.

Toko kelontong Papi cukup maju, apalagi selain barang pecah belah, Papi juga adalah pelukis kaligrafi aksara Cina yang cukup mumpuni. Meski pemasukan jauh lebih banyak dari barang-barang kebutuhan pokok, keberadaan lukisan aksara Cina membuat Papinya cukup disegani. Orang dagang yang punya darah seni adalah jenis manusia yang langka, begitu kata orang-orang tentang Papi. Para pedagang sepuh di Glodok kerap mengusap rambutku, menyuruhku mensyukuri punya ayah seperti Papi. “Kamu hoki, Liem. Pasti kamu gak pernah dimarahi. Katanya kan orang seni itu hatinya lembut.”

Salah. Yang benar adalah, watak Papi jika tak ada orang luar yang melihat ganas seperti lelembut. Aku tak pernah minta diajari bikin PR pada Papi (lagi), karena minimal jariku kena hajar penggaris besi dan besoknya malah tak bisa sekolah karena jari telunjukku matang biru, jangankan untuk menulis untuk mengupil pun susah.

“Kau ini turunan Cina apa Jepang, sih? Itu anakmu, bukan Romusha. Kalo sudah begini jadi nggak bisa sekolah, kan?”

“Iya. Iya. Maaf, aku lupa, besok-besok mestinya yang kupukul jarinya yang di tangan kiri.” Jawaban khas Papi, seenaknya dan mau menang sendiri.

Maka biasanya kepada Mamilah aku mencurahklan segala macam Pekerjaan Rumah.

“Mami bukan orang pintar, Liem. Cuma lulusan SD.”

Lihat selengkapnya