Sajak Cinta Terakhir

Widhi ibrahim
Chapter #1

PROLOG

Seandainya hidup ini indah,

Tak akan ada banyak air mata yang tumpah.

Seandainya hidup ini mudah,

Tak akan banyak jiwa yang gundah.

Seandainya waktu yang dimilliki singkat, 

Akan banyak kasih yang melekat.

Seandainya dunia ini menjanjikan nikmat,

Maka akan banyak yang terpikat.

Nyatanya, hidup ini tak semulus itu.

Cukup sulit dan rumit.

Penuh tawa dan air mata.

Hingga bertemu akhir bahagia atau menderita.

#PROLOG

Kicau suara burung yang merdu, mengawali pagi di hari Senin yang cerah. Hembusan sejuk embun pagi, menelusup lewat celah-celah pintu jendela kamar yang sedikit terbuka. Semangat pagi menuntun laki-laki berparas tampan dan memiliki tubuh ideal bak seorang model itu, berjalan perlahan meninggalkan kamarnya. Langkanya mulai menuruni satu demi satu anak tangga, lalu berjalan menuju pintu utama rumah. Bangunan sederhana yang memiliki 2 lantai dengan luas tanah 10m x 8m, itu hanya luas bangunannya saja, tidak dengan halamannya. Rumah dengan tipe bangunan tahun 90-an itu terletak di kawasan perkebunan di daerah Ciwidey, Jawa Barat.

Saat pintu dibuka, udara sejuk perkebunan langsung menyapa. Dengan mengenakan baju kemeja lengan panjang berwarna biru tua, dan sebuah topi hitam menempati posisi yang pas di kepalanya, ditambah tas gendong warna hitam telah menghiasi punggungnya. Sudah cukup menandakan bahwa laki-laki tampan berusia 27 tahun itu, telah siap untuk pergi bekerja.

Usai mengunci pintu rumah dan membalikkan badannya, pria itu dibuat kaget dengan kehadiran seorang gadis cantik, yang tiba-tiba berdiri tepat di hadapannya sambil melempar sebuah senyuman semanis madu.

“Pagi... Bang Regi,” sapa gadis cantik berlesung pipi itu, sambil tersenyum kepada laki-laki tampan yang ternyata bernama Regi.

“Risya, pagi,” jawab Regi sambil membalas senyum gadis cantik bernama Risya itu.

Entah apa yang membuat gadis itu bertamu di pagi yang mendadak indah ini. Padahal hari-hari sebelumnya tak pernah ada yang special di awal pagi. Namun kehadirannya, mampu menambah energi penyemangat tersendiri untuk Regi saat mengawali hari. Bagaimana tidak bersemangat, jika kehadiran sosok gadis cantik mengawali harinya.

“Udah mau berangkat ke perkebunan, ya, Bang?” tanya Risya. 

Dengan pandangan yang terus berkeliaran memperhatikan penampilan laki-laki di hadapannya, yang sudah terlihat rapih.

Regi yang aslinya berasal dari Jakarta, membuat Risya memanggilnya dengan sebutan ‘Abang’. Bukan ‘Aa’, atau ‘Akang’, seperti panggilan yang biasa orang Sunda tujukan untuk seorang laki-laki yang usianya lebih tua.

“Tadinya sih, iya. Tapi karena ada Risya, Abang undur dulu deh untuk beberapa menit,” goda Regi.

“Ahh... Abang, bisa aja deh becandainnya,” jawab Risya sedikit malu. 

Begitu juga Regi yang malah tertawa kecil menanggapinya. 

“Mahesa-nya ada, ‘kan, Bang?” tanya Risya lagi.

Lihat selengkapnya