Suasana malam yang kurang bersahabat untuk Risya, hujan gerimis hadir di tengah-tengah kesunyiannya. Dinginnya angin yang berhembus menelusup ke dalam kamar, cukup menusuk sampai ke tulang. Tangan mungil gadis itu mendekap erat kedua lututnya, usaha yang dilakukan untuk sedikit menghangatkan tubuhnya. Namun pandangannya tidak lari dari depan layar datar laptop yang berada tepat di hadapannya, sesekali dekapan tangan mungilnya itu ia lepaskan, saat harus menggerakkan jari-jemari di atas keyboard. Nampaknya pekerjaan telah mengalahkan rasa dingin serta rasa kantuknya.
Di sela-sela aktivitasnya, terdengar langkah kaki yang semakin lama semakin mendekatinya.
“Kak...,” sapa gadis mungil yang akan beranjak remaja itu, sambil menyodorkan sebuah amplop berwarna pink kepada Risya. “Biasa... buat Kakak,” sambungnya.
Gadis mungil yang masih duduk di kelas 2 SMP itu adalah Cika, adik Risya.
Pandangan Risya cukup teralih, bukan karena kedatangan Cika di tengah-tengah kesibukkannya. Namun karena sebuah amplop yang masih berada di tangan Cika-lah yang cukup menyita pandangannya. Dengan sedikit ambigu, tangan kanan Risya bergerak meraih sesuatu yang berbentuk persegi itu dari genggaman Sang adik.
“Makasih, De.” Risya tersenyum.
Cika mengangguk sambil tersenyum, kemudian pergi meninggalkan Risya.
Kini amplop itu ada di tangan Risya. Bagian depan atau belakang kertas berwarna merah muda yang tidak bertuliskan apa pun itu, mampu membuat Risya mengabaikan sejenak aktivitasnya. Tak ingin membiarkan perasaannya semakin bertanya-tanya lebih lama lagi, perlahan ia mulai membuka amplop tersebut, kemudian membaca sebuah surat yang ternyata berisi sebuah sajak.
Kuarahkan pandanganku jauh
Ke langit yang hitam, kelam tanpa hiasan
Kubiarkan anganku terbang bersama angin malam
Berharap menembus jiwa yang aku rindukan
Kutahan rindu dalam kalbu
Menunggu waktu tuk bertemu
Kusimpan cinta yang kupunya
Agar utuh tidak ternoda
Pada akhirnya, hanya kamu yang berhak memiliki
Satu asa untuk cinta yang tercipta
Meski tak mungkin tuk memilikimu
Namun namamu tetap terpatri dihatiku
Perasaan Risya mendadak tidak menentu, usai membaca isi dari surat yang ia dapatkan tanpa identitas pengirimnya itu.
“Kata-kata seperti ini lagi? Dari orang yang sangat misterius. Entahlah... ini jadi sajak cinta yang ke berapa?” gumam Risya, yang bukan untuk pertama kalinya mendapatkan kiriman kata-kata puitis seperti yang ia dapatkan malam ini.
Hampir setahun belakangan ini Risya sering mendapatkan sajak-sajak serupa, yang ia terima hampir setiap minggu. Entah siapa yang menulisnya? Karena dari puluhan surat yang ia terima, tidak pernah ada sedikit pun tanda-tanda siapa yang mengirim surat itu. Hanya saja hatinya sedikit meyakini, jika orang misterius si penulis sajak cinta itu tidak mungkin orang asing. Dia pasti orang yang mengenal Risya, juga kesehariannya.
Risya terdiam sejenak, sambil menatap kertas sajak yang masih berada di tangannya. Tiba-tiba Risya teringat tentang keluhan sahabatnya, Andin. Dimana, kantor majalah tempat Risya dan Andin bekerja sedang mengalami penurunan dalam penjualan. Sebagai reporter sekaligus editor, Risya merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan keadaan seperti semula.
Setelah membaca ulang sajak itu, di kepalanya muncul sebuah ide. Risya tahu apa yang harus ia lakukan lewat sajak yang ada di hadapannya sekarang.
***
Siang itu, waktu menunjukan pukul 11:00 WIB. Di sebuah taman yang berada dekat kampus. Mahesa terlihat asik menyaksikkan atraksi-atraksi sepeda yang dipertunjukkan di sana. Padahal seharusnya pagi ini Mahesa berada di kampus. Tapi entah apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Mahesa, sehingga membuatnya membolos. Padahal seharian kemarin, Mahesa juga tidak masuk kuliah karena memilih menemani Risya mencari materi untuk membuat artikel.
Mengetahui Mahesa kembali bolos di hari berikutnya, Risya sampai menegur Mahesa. Karena tepat pada siang ini, seharusnya Mahesa mengikuti ujian mata kuliah penting di kampus. Tapi Mahesa malah memilih bertemu dengan Risya, hanya untuk makan siang bersama tak jauh dari kantor majalah.
“Udah 3 hari kamu gak kuliah, Sa!”
Mahesa yang saat itu hendak menyantap makanan yang sudah ada di atas sendoknya, mendadak terdiam dan langsung menurunkan kembali sendok itu ke atas piring. Mimik yang Mahesa perlihatkan benar-benar mendadak berubah.
“Aku kesini untuk makan bareng kamu, bukan buat bahas itu, Ris!” ujar Mahesa cukup ketus dengan tatapan yang lumayan tajam.
Risya sedikit kecewa dengan ucapan yang keluar dari mulut Mahesa. Dengan tatapan tak biasa, Risya memandang wajah pria yang duduk di hadapannya itu.
“Aku masih gak ngerti deh sama kamu? ... Sebenernya apa yang membuat kamu kaya gini? Semester depan, kuliah kamu udah nginjek semester akhir, Sa! tapi kamu-nya malah kaya gini. Ayolah, Sa... semangat! kasian kalau bang Regi sampai tau. Dia pasti kecewa!”