Siang itu. Dengan langkah cepat, Regi menghampiri Mahesa yang sedang asik bermain game di kamar. Tanpa basa-basi, Regi mematikan game yang sedang dimainkan.
Sikap Sang kakak yang seperti itu membuat Mahesa kesal.
“Bang... apa-apaan, sih? Ganggu kesenengan orang aja!” protes Mahesa sambil melihat ke arah Regi yang kini berdiri tepat di hadapannya.
Regi malah memberikan secarik kertas kepada Mahesa dengan tatapan tak biasa, seperti ada rasa kesal yang sengaja ia tunjukkan. “Jelasin sama Abang!” bentak Regi.
Mahesa meraih kertas yang membuatnya dibentak dari tangan Regi, kemudian membacanya. Setelah selesai, Mahesa malah terlihat begitu cuek dan santai.
“Abang dapet itu langsung dari dosen kamu. Kemana aja kamu selama seminggu ini? Kenapa kamu gak masuk kuliah tanpa alasan?” sambungnya dengan pertanyaan beruntun.
“Aku lagi males kuliah aja,” jawab Mahesa santai.
Regi sangat tidak mempercayai, jika kata-kata seperti itu benar-benar keluar dari mulut adik yang sangat ia banggakan.
“Males... apa yang membuat kamu males? Bilang sama Abang! Apa uang yang Abang kasih kurang? atau apa?” Regi mulai geram.
Mahesa hanya diam, yang malah semakin membuat rasa kesal dan kecewa di dalam hati Regi sedikit naik levelnya.
“Ini bukan saatnya bermales-malasen. Semangat untuk masa depan, Mahesa! Raih mimpi yang selama ini ingin kamu wujudkan. Gapai semua itu, Sa! jangan malah males-malesan kaya gini!”
Mendengar itu, Mahesa tidak hanya diam. Dia langsung meletakkan stik game yang ada di tangannya ke atas bantal yang ada di hadapannya. Karena saat itu posisi Mahesa sedang duduk di karpet dengan 2 buah bantal di hadapannya. Mahesa langsung beranjak dari duduknya dan berdiri berhadapan dengan Regi.
Kini giliran laki-laki keras kepala itu yang memberikan tatapan yang cukup tajam. “Untuk apa, Bang? untuk apa...! Udah deh, Bang. Abang gak usah so atur hidup aku. Toh gak ada yang peduli sama aku. Meskipun cita-cita yang selama ini aku impikan terwujud... gak akan ada yang merasa bangga. Daripada aku terpaksa menjalaninya, lebih baik tidak sama sekali. Bukan lebih baik seperti itu? jadi gak akan ada yang sia-sia. Iya, ‘kan, Bang?” ujar Mahesa sambil meraih tas yang tergeletak di atas tempat tidur dan kemudian pergi.
Lagi-lagi Regi hanya diam saat Mahesa bersikap seperti itu, ia tidak melakukan pencegahan apapun kepada Mahesa.
***
“Seperti ini terus kelakuan anak kamu? Bener-bener memalukan! Mau jadi apa dia? Dasar anak gak tau diri!” ujar Papa tiri Mahesa, usai mengetahui Mahesa pulang dengan wajah lebam-lebam, kemudian laki-laki itu beranjak pergi meninggalkan Mahesa dan Ibunya.
“Kamu selalu bikin Mamah malu di depan Papa kamu, Mahesa! Kamu bener-bener bukan anak yang patut dibanggakan. Apa bisa kamu menjadi seorang dokter? kalau seandainya kelakuan kamu seperti ini terus. Jangan pernah bermimpi terlalu jauh! ... Mamah bener-bener malu punya anak seperti kamu!”
Dari perkataan dan nada bicaranya, sudah dapat dipastikan bahwa wanita itu benar-benar merasa kecewa dengan tingkah anaknya.
“Kalau Mamah malu punya anak kaya aku ... oke, Mah. Aku akan pergi dari rumah ini. Lagipula aku juga gak butuh ibu kaya Mamah. Yang lebih memilih orang baru dibanding darah dagingnya sendiri,” ungkap Mahesa, yang terlihat lebih kecewa dengan sikap Ibunya.
“Berani kamu bicara seperti itu! dasar anak pembangkang! Pergi sana! Mamah lebih gak butuh kamu!” bentak wanita itu penuh emosi.
Dengan rasa kesal penuh kekecewaan, Mahesa melangkah pergi dari hadapan Ibunya. Tapi seseorang menahan Mahesa, dan membawa Mahesa menghampiri Ibunya kembali.
“Kalau Mamah usir Mahesa. Itu sama aja Mamah menginginkan aku pergi dari rumah ini juga,” ujar seseorang itu, yang ternyata Regi.
“Kenapa kamu bicara seperti itu? kamu tidak perlu membela anak yang tidak berguna seperti dia!”
Regi benar-benar tidak menyangka saat melihat ekspresi wajah Ibunya, yang nampak diselimuti kemarahan yang luar biasa kepada Mahesa.
“Inget, Mah! Mahesa itu adik aku ... anak kandung Mamah juga. Aku gak ngerti kenapa semenjak Mamah mengenal laki-laki itu, Mamah bener-bener berubah. Mamah jauh berbeda dari Mamah yang aku kenal dulu. Dan sekarang, kita emang gak akan pernah bisa kaya dulu lagi!”
Suasana tiba-tiba hening untuk beberapa detik.