Setelah sebelumnya memikirkan kejadian di danau kemarin, yang tidak seharusnya Mahesa lakukan kepada kekasihnya. Sikap menyalahkan dan membentak Risya waktu itu, benar-benar salah sasaran. Sehingga rasa sesal membawanya pergi ke rumah Risya pagi ini.
Saat Mahesa tiba dan melangkah menuju pintu rumah Risya, tidak sengaja kaki kanan Mahesa menginjak sebuah lipatan kertas yang tergeletak di teras rumah. Tanpa banyak berpikir, Mahesa langsung mengambilnya lalu dengan cepat membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Baru saja sebaris Mahesa baca, tiba-tiba pintu terbuka.
Gadis yang baru keluar itu sedikit terkejut dengan kedatangan Mahesa ke rumahnya.
“Esa... kamu ada di sini!” sapa Risya kepada Mahesa, yang sedang fokus membaca.
Bukan tidak menyadari kedatangan Risya yang kini berjalan semakin mendekatinya, hanya saja laki-laki itu teramat penasaran untuk menyelesaikan apa yang sedang ia baca. Setelah selesai, Mahesa mengangkat kepalanya dan pandangannya kini lurus menatap Risya.
Namun pandangan Risya sedikit teralih, ia malah fokus pada kertas di tangan Mahesa.
“Orang misterius itu masih sering ngirim sajak buat kamu?” tanya Mahesa mengenai kertas itu, yang lagi-lagi berisi sajak cinta miterius untuk Risya.
Risya mengangguk diiringi ekspresi yang sebenarnya Risya juga tidak suka dengan ulah orang misterius itu, yang terus menerus mengirimkan rangkaian kata puitis untuknya.
Mendapat jawaban seperti itu, mimik yang Mahesa perlihatkan langsung berubah.
Risya sedikit takut saat melihat Mahesa menatapnya dengan tatapan tak biasa.
“Apa sih maunya dia? Kalau dia beneran suka sama kamu... jangan kaya gini caranya!” bentak Mahesa penuh kekesalan, sambil meremas kertas yang ia pegang. Lalu menghempaskannya ke lantai dan menginjaknya dengan penuh amarah.
“Jangan emosi gitu dong, Sa!” ujar Risya sedikit menenangkan Mahesa.
Bagi Risya mungkin ini bukan apa-apa, hanya sebatas rangkaian kata yang ditulis seorang pengagum rahasia untuknya. Tapi bagi laki-laki yang kini sedang berdiri di hadapannya, sajak itu merupakan sebuah ancaman. Ajakan perang terang-terangan yang ditujukan padanya, untuk memperebutkan hati gadis cantik yang sama-sama mereka kagumi. Itu sangat terlihat jelas dari rangkaian kata pada sajak yang baru saja Mahesa baca.
Di dalam hembusan nafasku,
Dan di setiap detak jantungku,
Gejolak rindu terus membara
Semakin jelas terasa
Semakin jelas rinduku bergelora
Kuingin berlari menggapaimu
Agar kudapat bersama disampingmu
Detik-detik terus berlalu, sedang aku diam terpaku
Dan dirimu hanyalah sebuah lilin kecil
Di saat terbangun, yang kusangka mentari pagi
Dan dirimu hanyalah api kecil
“Aku pacar kamu! Dengan adanya dia, posisi aku di hati kamu bener-bener terancam. Bisa aja kamu berpaling dari aku, dan lebih memilih orang misterius yang so puitis itu.”
“Kamu ngomong apa sih, Sa?” Risya menatap wajah Mahesa penuh perasaan, dengan lembut Risya memegang tangan Mahesa yang sedikit dingin, karena mungkin menahan rasa kesal yang begitu besar, tapi tidak bisa ia luapkan.
“Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Dan hampir 3 tahun lamanya aku lewati semua ini sama kamu. Jadi aku gak mungkin memilih orang baru dibanding kamu, yang jelas-jelas sudah menempati posisi terpenting di hati aku.” Tatapan Risya semakin penuh kasih sayang untuk Mahesa.
“Mahesa Dwi Arkana sayang... jika waktu yang telah kita habiskan bersama masih belum membuatmu yakin. Aku tak akan pergi! Aku masih punya banyak waktu untuk meyakinkan kamu lagi dan lagi. Karena cinta yang tulus itu tidak akan terasa hanya lewat kata, tapi butuh bukti agar terlihat nyata.”
Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Risya, seketika Mahesa terdiam. Laki-laki itu terlihat luluh usai mendengar kalimat yang memang ingin ia dengar dari Risya, untuk meyakinkannya sekaligus menepis rasa takut yang kini tengah melanda perasaannya.
“Aku... aku cuma takut, Ris. Aku takut kehilangan kamu.” Matanya sedikit memerah, karena mencoba menahan tangis. “Risya... aku bener-bener minta maaf soal kejadian kemarin. Aku sama sekali gak bermaksud marah sama kamu. Tolong maafin aku, Ris!”
“Udah gak apa-apa, Sa. Kamu gak perlu minta maaf. Lagian aku gak marah kok sama kamu,” ujar gadis itu sambil melempar senyuman untuk Mahesa. “Tapi aku pengen minta satu hal, kamu mau ‘kan kasih tau aku apa alasan yang membuat kamu bersikap seperti itu sama aku? Sekalipun itu tentang kamu dan bang Regi? Aku mohon, Sa! Sesekali tolong libatkan aku dalam masalah pribadi kamu,” pinta Risya.