Regi dan Risya sedang berjalan berdua sambil menelusuri jalanan kecil di tengah-tengah perkebunan Teh. Risya yang kala itu memiliki waktu senggang, sengaja mampir ke perkebunan, dan malah menemani Regi memantau petani-petani bekerja sambil menunggu Mahesa, yang berjanji akan menjemputnya.
Saat mereka sedang berjalan santai, tiba-tiba mata Risya kelilipan. Dengan sangat sigap Regi berusaha membantu Risya. Meski sedikit ragu, Regi memegang pinggir mata dan meniup ke arah mata Risya yang kelilipan.
Selang beberapa meter dari posisi mereka, Nisa melangkah begitu bersemangat. Hari ini Nisa sangat terlambat datang ke perkebunan, karena ada urusan yang harus ia selesaikan terlebih dulu. Namun senyum yang tercipta dari bibir Nisa musnah begitu saja, langkah gadis itu pun langsung terhenti usai melihat Regi dan Risya, yang menurutnya sedang bersikap cukup mesra.
Kini, Nisa hanya berdiri mematung sambil menatap ke arah Regi dan Risya. Dimana Regi sedang mengobati mata Risya yang terkena debu.
“Gimana? masih sakit?” tanya Regi.
“Udah enggak terlalu. Makasih, Bang”
Regi mengangguk sambil tersenyum, kemudian melanjutkan kembali langkah mereka yang sempat terhenti karena insiden kecil tadi.
Sementara Nisa, ia memilih membalikkan badannya dan pergi. Nampaknya gadis itu tak ingin berlama-lama menyaksikan kebersamaan Regi dan Risya, ia takut perasaan cemburu yang timbul di hatinya tumbuh semakin besar.
“Em... gimana hubungan kamu sama Esa?” tanya Regi.
“Baik-baik aja, Bang,” jawab Risya dengan nada yang datar diiringi mimik wajah yang tak biasa, seperti sedang merasakan kegelisahan. “Em... Bang, aku boleh cerita tentang sesuatu gak sama Abang?” tanya Risya sedikit ragu.
Regi mengangguk, pertanda ia tidak keberatan untuk mengabulkan permintaan Risya. Dengan pandangan yang masih sibuk memantau sekeliling perkebunan, namun telinganya masih tetap setia mendengarkan Risya.
“Abang masih ingat sama sajak-sajak misterius yang waktu itu pernah aku ceritain?”
“Emmm, iya... Abang masih ingat. Emangnya kenapa dengan sajak itu?”
“Aku masih gak ngerti aja sama orang misterius itu. Udah berjalan hampir 1 tahun orang itu mengirim sajak-sajak cinta buat aku. Tapi sampe saat ini, aku belum tau siapa dia, dan apa maksud dari sajak-sajak yang dia kirim ke aku.”
“Mungkin, itu cara dia untuk mengagumi kamu, Ris.”
Pendapat Regi kali ini sedikit membuat Risya tertegun, mendadak berbagai macam anggapan muncul di dalam pikirannya. Namun, Risya mencoba menepis itu semua.
“Ya mungkin... tapi gak kaya gini juga caranya, Bang.”
“Iya, sih. Tapi itu karena mungkin dia tau... kalau kamu udah punya pacar, Ris. Jadi memang lebih baik bagi dia, kalau kamu tidak mengetahui siapa dia.”
Gadis itu menghela nafas cukup panjang, seperti tak puas dengan jawaban Regi.
“Di satu sisi, aku seneng. Karena ada orang yang sampe segitunya mengagumi aku. Tapi di sisi lain, aku ngerasa takut. Aku takut bila sewaktu-waktu sajak-sajak itu bisa jadi perusak hubungan aku sama Esa.”
Regi mendadak terdiam setelah mendengar perkataan Risya diiringi langkahnya yang terhenti. Begitu juga Risya yang menghentikan langkahnya mengikuti Regi.
Pandangan Regi beralih ke arah Risya. Kedua matanya menangkap mimik wajah Risya yang tidak biasa, seakan-akan penuh kegelisahan.
“Percaya, Ris! semua pasti baik-baik aja.”
“Tapi aku yakin, Bang... orang misterius itu tidak akan cukup mengungkapkannya hanya lewat sajak. Bisa aja suatu saat dia muncul di tengah-tengah aku dan Mahesa. Dia pasti akan menghancurkan semuanya. Itu yang bener-bener aku takutkan, Bang.”
Kali ini Regi benar-benar bungkam, dia seperti telah kehabisan kata-kata untuk menjawab apa yang baru saja gadis itu lontarkan.
***
“Kok kamu cemberut gitu, sih?” tanya Mahesa kepada Risya, yang memasang wajah cemberut dari awal kedatangannya.
“Lagian kamu lama, sih! ‘kan kasian bang Regi. Kerjaannya jadi keganggu gara-gara nemenin aku dulu,” jawab Risya dengan ekspresi cemberutnya.
“Iya, iya, aku salah. Maafin aku, yah!” pinta Mahesa.
Tapi Risya hanya diam.
“Ya udah kalau kamu gak mau maafin aku, tapi kamu harus mau dengerin aku! Sebentar... aja,” ujar Mahesa sedikit memohon kepada Risya yang masih membuang muka.
Sementara Risya berusaha terus berpaling dari Mahesa, yang sedang berusaha merayunya agar tidah marah lagi.
“Risya, taukah kamu? Hal terindah bagiku adalah, ketika aku bersamamu, melihat senyumanmu. Aku mencintaimu.... Bahagiamu adalah bahagiaku. Tawamu adalah tawaku, lukamu adalah lukaku. Engkaulah segalanya bagiku. ... Beningnya air, tak sebening matamu. Merahnya sambal tak semerah bibirmu. Pekatnya coklat, tak sehitam rambutmu.”
Risya yang memasang ekspresi datar mendadak tersenyum, ketika mendengar Mahesa mengucapkan kalimat yang sengaja Mahesa rangkai, untuk gadis istimewa di hadapannya itu.
“Ihhh... apaan sih itu?” tanya Risya.
“Puisi!” jawab Mahesa singkat.