Langkah Regi terlihat cepat saat menuruni anak tangga, dengan tangan yang dipenuhi beberapa lipatan kertas. Saat akan memasukkan kertas-kertas itu ke dalam tas, tiba-tiba langkah Regi terhenti sejenak saat mendengar Mahesa memanggilnya.
“Bang... gak sarapan dulu?”
Spontan Regi menoleh ke arah Mahesa, yang saat itu duduk di meja makan untuk menyantap nasi goreng sebagai menu sarapannya hari ini.
“Enggak, Sa. Abang buru-buru. Assalam’mualaikum.” Regi bergegas pergi meninggalkan Mahesa. Dan tanpa sadar satu dari beberapa lipatan kertas yang Regi pegang tadi, terjatuh di lantai tak jauh dari tempat Mahesa duduk.
“Wa’alaikumsalam. Buru-buru banget, sih. Gak kepagian tuh datang ke perkebunan.” Mahesa tersenyum.
“Tapi makasih bang, karena abang udah rela bekerja keras seperti ini demi aku. Semoga abang selalu sehat, ya.” Mahesa kembali melanjutkan sarapannya.
Tapi baru saja Mahesa mengangkat sendoknya, sesuatu terlihat mengalihkan pandangannya. Sehingga membuat Mahesa beranjak dari duduknya, dan berjalan menuju sesuatu yang mengalihkan pandangannya tadi. Ternyata benda itu lipatan kertas milik Regi yang terjatuh tanpa Regi sadari. Mahesa mengambil kertas tersebut dan membuka lipatannya. Namun tiba-tiba mimik wajah Mahesa benar-benar berubah setelah melihat dan membaca kertas itu.
30 menit sudah berlalu, Mahesa masih saja duduk di ruang makan. Namun piring yang berisi sarapannya benar-benar masih belum berubah.
Tokk, tokk, tokkk.
Terdengar suara ketukan pintu. Mahesa beranjak dari duduknya, dengan langkah yang tidak begitu bersemangat laki-laki itu berjalan menuju pintu rumah. Pada saat Mahesa membuka pintu, ternyata yang bertamu adalah Risya.
Risya langsung menyapa Mahesa dengan senyuman. Tapi Mahesa malah diam dan tampak seperti tidak suka dengan kedatangan Risya.
“Heyy, aku pikir kamu udah pergi duluan. Habis kamu belum jemput aku ke rumah sih,” kata Risya yang terlihat begitu ceria.
Namun berbeda dengan Mahesa yang malah memasang ekspresi wajah kecut.
“Kayanya hari ini aku gak bisa nganter kamu. Aku lagi banyak tugas, gak ada waktu. Lagian motor aku-nya mogok, kamu bisa ‘kan pergi sendiri?” ujar Mahesa cukup ketus.
Risya merasa aneh, bukan karena Mahesa tidak bisa mengantar Risya pagi ini. Tapi karena Mahesa menatapnya dengan pandangan yang berbeda. Setelah itu Mahesa langsung masuk dan menutup pintu rumahnya, padahal Risya masih menunggunya di depan pintu.
“Astagfirullah... kok Esa gitu, sih. Iiiihhh, Esa kenapa lagi coba?” keluh Risya yang benar-benar tidak mengerti dengan sikap Mahesa saat itu.
***
Risya sedang duduk di teras depan rumahnya sambil melihat bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Nampaknya suasana hati Risya malam ini sedang kurang baik, itu sangat terlihat jelas dari ekspresi wajahnya yang datar, dan tatapan matanya yang kosong. Mungkin karena Risya masih kepikiran dengan sikap Mahesa pagi tadi.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka di sela-sela heningnnya malam.
“Pantesan gak ada di kamar. Ternyata Kakak disini,” ujar Cika sambil berjalan menghampiri usai melihat ekspresi Kakaknya yang tidak seperti biasanya.
Mengerti apa yang dibutuhkan Risya di saat seperti ini, Cika duduk di sampingnya.
Risya hanya tersenyum menjawab sapaan Adiknya, sedangkan pandangannya tetap lurus ke arah langit malam.
“Oh iya, Kak... tadi aku nemu kertas ini di depan pintu.” Cika memberikan secarik kertas kepada Risya.
Risya pun mengambilnya dari tangan Cika.
“Pasti isinya sajak-sajak cinta lagi deh, Kak.”
“Ahhh kamu, so tau banget deh,” jawab Risya sambil tersenyum.
“Ya ialah, orang tadi aku sempet baca dulu kok,” kata Sang adik sambil menempelkan bibir atas dan bawah. Pertanda kalau ia sudah berkata apa yang seharusnya tidak ia katakan.
Risya menatap wajah Adiknya dengan raut muka yang datar diiringi dengan tatapan yang sedikit tajam.
Cika malah tersenyum dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan
“Visss...” kata gadis kecil itu cengengesan.
Risya tersenyum kemudian mengelus-ngelus rambut Cika.
“Enak ya, Kak... dalam 1 minggu, ada orang yang ngirim sajak yang bagus dan keren untuk kita. Yang dibuatkan special... oleh orang yang amat sangat mengagumi kita. Aku jadi pengen punya pengagum rahasia deh kaya Kakak.”
Risya hanya diam menanggapi celotehan Cika. Tapi bukan berarti Risya tidak peduli, hanya Risya sendiri pun bingung harus memberikan jawaban apa. Kini kedua bola mata indahnya beralih menatap pada secarik kertas yang ia pegang.
***
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Regi kembali terburu-buru. Mungkin karena ia harus tiba di perkebunan lebih awal. Usai menyelesaikan sarapannya, Regi langsung meraih tas yang ia letakkan di atas meja makan.
“Jangan lupa sarapan dulu, Sa! Abang mau langsung ke pabrik, makanannya udah Abang siapin kok,” kata Regi kepada Mahesa yang baru saja turun dari lantai 2 dan sedang berjalan mendekatinya.
Regi beranjak dari duduknya, pada saat ia hendak pergi, tiba-tiba Mahesa meletakkan secarik kertas ke hadapan Regi.
“Tolong jelasin sama aku, Bang!”
Regi cukup heran, apa yang harus ia jelaskan tentang kertas itu. Tidak mau berlama-lama dilanda rasa penasaran, ia pun mengambilnya. Regi mendadak diam, pada saat tahu apa tulisan yang ada di kertas itu. Regi kembali mendaratkan tubuhnya di kursi, dan tas yang baru saja ia kenakan di bahunya tiba-tiba terjatuh ke lantai. Kini pandangan Regi pun benar-benar terlihat kosong.