Satu minggu sudah berlalu, dan selama itu pula Mahesa tidak pulang ke rumah, bahkan tidak masuk kuliah.
Hari-hari yang dilalui Regi pun terasa hampa, begitu pula Risya. Mereka seperti tidak bisa lepas dari sosok Mahesa, yang kini menghilang dari kehidupan mereka.
Seperti siang ini, saat Regi dan Risya berada di sekitar bukit tak jauh dari perkebunan. Mereka duduk berdampingan di bawah pohon besar yang cukup rimbun, sambil menatap pemandangan desa yang begitu indah dari atas bukit.
“Sejak pertengkaran itu, aku gak pernah ketemu Esa. Aku udah coba cari di kampus, tapi Esa gak ada. Abang sendiri tau dimana keberadaan Esa sekarang?” tanya Risya
Regi hanya menggelengkan kepala, karena ia juga tidak mengetahui keberadaan adiknya selama seminggu ini.
“Sebenernya apa yang terjadi, Bang? Belum pernah Esa pergi selama ini saat ada masalah, sekalipun saat Esa bertengkar sama Abang. Apa mungkin Esa melakukan ini karena sengaja ingin menjauhi aku?”
Kini pandangan Regi tertuju pada gadis yang duduk di sampingnya.
“Loh, kok kamu ngomong gitu sih? Apa yang kamu bilang itu gak bener, Esa gak mungkin menjauh dari kamu,” bantah Regi.
“Tapi kenyataannya bilang kaya gitu, Bang! Aku bener-bener gak ngerti... sebenernya apa salah aku. Sampe-sampe Esa bersikap seperti ini. Aku bener-bener gak ngerti, Bang. ... Apa dia tau, disini aku sangat merindukannya? Aku gak mau kehilangan dia, Bang.” Tanpa terasa kedua mata indah gadis itu meneteskan air mata.
Regi benar-benar tidak tega melihat Risya bersedih, dengan tangannya Regi mencoba menghapus air mata yang terjatuh dan membasahi pipi halusnya.
Tiba-tiba Risya melabuhkan tubuhnya ke pelukan Regi.
Regi mendadak mematung, Regi bingung apa yang harus ia lakukan. Dengan sedikit keraguan, Regi mendaratkan tangan kanannya ke bahu Risya, kemudian mengelusnya secara perlahan untuk menenangkan Risya. Meski tidak akan berpengaruh banyak, tapi setidaknya mampu mengurangi rasa sedihnya.
“Aku hanya berharap apa yang selama ini aku genggam bukanlah pasir, yang semakin erat kugenggam, malah semakin menghilang,” ujar gadis itu sendu.
Suasana langsung hening.
“Maafin Abang, Ris... semua ini gara-gara Abang,” batin Regi.
***
Wajah gadis cantik ini masih terlihat mendung, padahal cuaca siang ini sangat cerah. Tatapannya hanya lurus memandang ke arah pintu jendela kamar yang terbuka. Dari sana terlihat hijaunya hamparan perkebunan Teh. Karena kamar yang ada di dalam rumah yang luas dan cukup mewah ini, berada tidak jauh dari perkebunan.
Sepasang mata nampak memperhatikan gadis cantik yang tengah duduk termenung itu. Perlahan langkah kaki terdengar semakin mendekati gadis itu, lalu seseorang mendaratkan tubuhnya dan duduk tepat di sampingnya.
“Sayang... kenapa belum berangkat? Bukannya hari ini kamu harus ke perkebunan?” tanya seseorang itu.
“Males, Pa...,” jawab gadis itu kepada seseorang tadi yang merupakan Ayahnya, Pak Harun.
“Kenapa? Biasanya juga suka semangat.”
Gadis itu terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan Sang ayah.
“Lagi ada masalah, ya? Kenapa? biasanya juga suka cerita sama Bapa. Bapa paling gak suka loh liat anak cantik Bapa murung kaya gini!”
“Nisa gak apa-apa, Pa. Nisa cuma lagi pengen sendiri aja.”
“Ya udah kalau gitu, Bapa tinggal. Tapi janji yah! jangan lama-lama!” ujar Pak Harun sambil mengelus rambut putri kesayangannya.