Sikap menghindar Mahesa, cukup membuat Risya benar-benar merasakan kegalauan. Hampir setiap waktu yang dilewati, Risya selalu membayangkan moment bersama Mahesa.
Seperti malam ini, saat sedang tiduran, Risya terlihat bersedih sambil memandangi foto-foto Mahesa bersama dirinya di layar handphone. Risya benar-benar sedih saat mengenang kembali manisnya kebersamaan mereka dulu, dibanding pahitnya saat ini. Di saat Mahesa semakin menjauhinya.
Pandangannya kini beralih pada foto-foto yang menghiasi dinding. Gadis itu beranjak dari atas tempat tidur. Langkah kaki membawanya mendekati salah satu bagian dinding, dimana foto kemesraannya bersama Mahesa berada. Lalu tangannya menyentuh salah satu foto saat dinner di hari jadian mereka. Di foto itu menggambarkan Risya dan Mahesa sedang selfie sambil memamerkan bunga mawar putih pemberian Mahesa, dengan ekspresi wajah yang penuh kebahagiaan. Seketika pandangannya berubah menjadi sendu.
“Aku pikir hal seperti ini gak akan pernah terjadi lagi, Sa.” Tak terasa Risya meneteskan air mata. “Harusnya aku udah terbiasa dengan semua ini. Tapi kenapa kali ini rasanya bener-bener sakit?” Air matanya semakin banyak menetes. “Apa rasa cinta dan sayang itu udah gak ada lagi di hati kamu?”
Risya melepaskan salah satu foto yang menempel di dinding, lalu membawanya menuju meja yang sering ia gunakan untuk bekerja. Kemudian gadis itu mendaratkan tubuhnya di atas kursi, dan duduk sambil memandangi foto laki-laki yang sangat ia sayangi.
“Aku masih bisa terima, saat kamu selalu melampiaskan kemarahan kamu ke aku. Tapi aku gak bisa terima kalau kamu menghindar kaya gini, tanpa aku tau salah aku apa,” kata Risya sambil menatap terus foto Mahesa.
Perlahan-lahan gadis itu mendaratkan kepalanya ke atas meja, sambil memandangi foto dirinya bersama Mahesa dengan air mata yang terus menetes.
***
Ternyata itu tidak hanya berlangsung di rumah. Saat di kantor pun, Risya lebih sering melamun. Diam-diam Andin sering memperhatikan dari tempat duduknya, yang bersebelahan dengan tempat duduk Risya. Sikap Risya terlihat berubah, kini ia menjadi seseorang yang sangat pemurung. Risya benar-benar kehilangan semangatnya.
“Aku bener-bener kehilangan kamu, Ris. Semenjak Mahesa menjauhi kamu... kamu bener-bener berubah,” batin Andin saat melihat Risya yang mulai tidak fokus saat bekerja.
Bahkan Risya tiba-tiba pergi meninggalkan pekerjaannya, tanpa berkata apapun pada Andin. Padahal saat itu jam kerja masih lama, dan jika Rian tahu, Risya pasti kena marah.
Andin beranjak dari duduknya, saat melihat sahabatnya itu pergi tanpa pamit.
“Risya!” sahut Andin pelan, tapi Andin tidak berusaha untuk mengejar Risya. “Mungkin dia butuh sendiri,” gumam Andin.
Bukan hanya Andin yang prihatin dengan keadaan Risya, Regi pun nampaknya begitu. Saat melihat Risya melintasi jalan perkebunan kala itu. Regi yang melihatnya, sengaja memanggil Risya dari kejauhan.
“Risya!” teriak Regi saat menyapa Risya.
Tapi Risya tidak menanggapinya, tatapan gadis itu tetap lurus ke depan sambil mengendarai motornya.
Sikap Risya itu membuat Regi khawatir, hingga Regi ingin memastikan keadaannya.
Malam harinya, Regi memutuskan datang ke rumah Risya, dari kejauhan Regi memperhatikan Risya yang lagi-lagi murung, duduk melamun di teras rumahnya sambil memetik daun di pot bunga yang ada di hadapannya, lalu membuangnya ke tanah. Risya melakukan itu berulang kali, dengan pandangan yang terlihat tanpa makna.
Kau termenung di keheningan malam
Bersama kesunyian dalam kelam
Saat sepi mulai menghampiri hatimu
Mendatangkan air mata yang pilu
Tahukah betapa diriku gelisah
Menunggu kau kembali tersenyum indah
Yang selalu mewarnai hariku
Tapi kini hilang terhempas waktu
Oh Tuhan, tolong ciptakan ruang terindah
Untuk dia yang jauh dari cintanya
Redup, menjauhlah darinya