Sajak Cinta Terakhir

Widhi ibrahim
Chapter #13

PERPISAHAN

Mahesa duduk di atas rumput tepat di pinggir danau, tempat yang sering Mahesa datangi bersama Risya. Dengan pandangan lurus ke arah hamparan air yang tenang, Mahesa seakan melihat bayangannya saat bersama Risya naik bebek-bebek’kan sambil bercanda tawa, tanpa terasa air matanya menetes. Saat pandangan Mahesa beralih melihat ke pinggir danau, Mahesa seperti melihat saat ia sedang kejar-kejaran, becanda tawa bersama Risya. Lagi-lagi Mahesa meneteskan air mata saat mengenang semua kebersamaan bersama Risya.

Aku bener-bener kangen sama kamu, Ris. Aku kangen sama semua tentang kamu. Aku sama sekali gak benci sama kamu, tapi keadaan yang membuat aku bersikap seperti ini. Karena mungkin, sekarang kamu udah gak butuh aku lagi. Aku lihat sekarang kamu udah bahagia sama bang Regi,” kata Mahesa dalam hati. Saat beberapa kali Mahesa melihat Risya pergi bersama Regi, dan Risya terlihat begitu bahagia.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang datang menghampiri Mahesa, dan terhenti tepat di belakang Mahesa.

“Aku tau kamu pasti datang kesini saat kamu merindukan aku, Sa.” Kalimat yang Mahesa dengar dari seseorang yang saat ini ada di belakangnya.

Mahesa beranjak dari duduknya, meski belum melihat namun Mahesa seperti sudah tahu siapa yang ada di belakangnya. Hanya cukup dengan mendengar suaranya saja. Perlahan Mahesa membalikkan badannya, pandangannya tertuju pada gadis yang berdiri tepat di hadapannya. Sesuai dengan perkiraan Mahesa, orang yang tadi menyapa lewat suara yang sudah tak asing lagi itu memang benar-benar Risya. Mahesa langsung mengahapus air matanya saat ia bertatap wajah dengan Risya.

“Aku yakin... kamu pasti memiliki perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan. Aku rindu kamu, Sa. Kamu juga pasti merindukan aku, ‘kan?” tanya gadis itu sedikit sendu.

Mungkin feeling yang dirasakan Risya masih kuat untuk laki-laki yang sudah 3 tahun belakangan ini mengisi hari-harinya. Sehingga perasaan itu bisa membawa Risya datang ke tempat ini tanpa Mahesa minta.

Mahesa hanya diam tanpa kata, dan mencoba menyembunyikan rasa sedihnya di depan Risya. Laki-laki itu mencoba untuk tegar. Namun hati kecilnya tidak dapat dibohongi, bahwa sebenarnya ia amat sangat bahagia bisa bertemu dan menatap wajah Risya lagi. Rasa rindu terpendam itu pun perlahan-lahan mulai terobati.

Please... kembali seperti dulu! Aku ingin jalani hubungan kita seperti dulu, Sa. Aku rindu kebersamaan kita, aku rindu kasih sayang kamu, aku rindu perhatian kamu, aku rindu semuanya. Kembali cintai dan sayangi aku, Sa! aku butuh kamu. Aku mohon jangan bohongin hati kecil kamu. Mahesa please... jujur sama perasaan kamu sendiri!” pinta Risya diiringi tetesan air mata.

Mahesa melangkah semakin mendekati Risya. “Tapi aku rasa, sekarang kamu udah gak butuh aku lagi.”

Risya menggelengkan kepala sambil menatap wajah Mahesa penuh kesedihan. 

Namun Mahesa malah memberikan ekspresi wajah yang meyakinkan Risya, bahwa dirinya memang sudah tidak dibutuhkan.

Raut wajah kecewa pun jelas terlihat, Risya mencoba menenangkan hatinya sejenak, lalu menatap Mahesa.

“Kasih aku alasan! kalau aku memang tak pantas untuk tetap bersama kamu. Agar aku punya alasan, untuk benar-benar berhenti dan pergi,” kata Risya. Matanya berbinar saat menatap penuh harap ke arah laki-laki yang sangat ia cintai. 

Namun Mahesa malah memalingkan pandangannya, laki-laki itu nampak tak sanggup menatap kedua mata Risya lebih lama. Tapi Mahesa mencoba agar tidak terbawa oleh perasaan. Kini ia balik menatap mata Risya cukup tajam. Meski cukup berat, namun Mahesa tidak boleh memperlihatkan suasana hatinya, yang benar-benar hancur kepada Risya.

“Kamu udah punya bang Regi. Orang yang selalu ada buat kamu, orang yang selalu bisa buat kamu tersenyum. Bukan aku... yang bisanya cuma bikin kamu nangis seperti ini!” Mahesa lepas kendali.

“Kenapa kamu ngomong kaya gitu, Sa?” rengek Risya.

Perasaan Mahesa semakin tak menentu, melihat gadis yang sebenarnya masih ia cintai itu menangis tepat di hadapannya. “Karena aku merasa, aku yang gak pantas untuk kamu!” ujar Mahesa dengan nada cukup keras. “Kenapa, sih? kamu gak milih bang Regi aja. Bang Regi lebih dewasa, bang Regi lebih baik, bang Regi lebih tampan, bang Regi lebih mapan, bang Regi lebih sempurna. Bang Regi lebih pantas untuk kamu cinta! Bukan aku Risya, bukan aku!” tekan Mahesa sedikit membentak, dan air matanya kini benar-benar menetes.

“Tapi aku sayang sama kamu, aku cintanya sama kamu, bukan bang Regi. Tapi kamu Mahesa! Kamu!” tegas Risya sambil memegang kedua tangan Mahesa untuk meyakinkan.

“Alah... bulsit!” Mahesa melepaskan tangan Risya dengan sikap yang cukup kasar. “Mulai sekarang, anggap aja diantara kita gak pernah ada apa-apa... dan jangan pernah cari aku lagi!” pinta Mahesa lalu pergi.

Risya mencoba menahan Mahesa, tapi Mahesa malah mendorongnya sampai jatuh  terduduk. Risya begitu sedih, hatinya benar-benar hancur saat itu. Selain telah menyakiti hatinya, Mahesa bahkan berani bersikap kasar padanya.

Begitu pun dengan Mahesa. Tanpa Risya tahu, Mahesa kembali meneteskan air matanya, sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Risya. Meskipun Mahesa yang menginginkan perpisahan ini terjadi, tapi perasaan Mahesa-lah yang sebenarnya lebih hancur dari Risya.

***

Regi mengendarai motornya di atas jalanan pedesaan yang masih terlihat sepi tanpa banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mungkin karena cuaca pagi hari yang lumayan mendung, membuat aktivitas belum terlihat banyak dilakukan orang-orang di jalanan. 

Mengetahui ada Mahesa yang sedang berjalan kaki dari arah yang berlawanan, Regi yang memang berniat menemui Mahesa langsung memutar arah, dan mempercepat laju motornya untuk mensejajarkan dengan langkah Mahesa. 

Regi langsung memberhentikan motornya tepat di depan Mahesa, sekaligus memberhentikan paksa langkah Mahesa. Kemudian Regi beranjak dari motornya dan menghampiri Mahesa.

“Ada apa lagi sih, Bang?” Mahesa kesal, karena Regi sengaja menghalangi jalannya.

“Kenapa kamu mutusin Risya?” tanya Regi tanpa basa-basi, setelah mendengar kabar bahwa Mahesa memutuskan Risya.

Lihat selengkapnya