Sejak Regi mendatangi rumah Nisa, kini hubungan mereka telah kembali seperti dulu, seakan-akan di antara mereka tidak pernah terjadi sesuatu. Dan soal perasaan yang tumbuh di hati Nisa, mungkin gadis itu sedang berusaha mengabaikannya. Agar semua perlahan-lahan bisa kembali seperti semula. Meski akan terasa sulit, namun Nisa harus mampu melewatinya.
Terlihat seperti sekarang ini. Rintik hujan yang turun pagi itu, membawa mereka lari ke sebuah pohon besar yang ada di sekitar perkebunan untuk berteduh. Untung saja hujan kali ini tidak terlalu lebat, dan tidak terlalu lama juga saat menyapa bumi.
“Hujannya udah reda, Kang.” Nisa beranjak dari tempat itu.
Namun tangan Regi malah menarik tangan Nisa, dan memintanya untuk duduk berdampingan di bawah pohon besar itu, bersamanya.
“Nis... Akang bener-bener gak tau harus bagaimana menjalani semua ini. Seandainya boleh minta, Akang ingin cinta ini mati sekarang juga,” ujar Regi seakan penuh penyesalan saat mengucapkannya.
“Hussh... gak boleh ngomong gitu, Kang! Perasaan tak memiliki kemudi. Jangankan orang lain, diri sendiri pun tidak bisa mengendalikannya. Begitu pula dengan cinta, dia tidak bisa memilih siapa yang harus dicintai. Karena kadang cinta datang sendiri tanpa kita sadari.”
“Tapi masalahnya perempuan itu pacar adik Akang, Nis. Akang pikir dengan cara mengagumi lewat sajak-sajak cinta, itu adalah jalan terbaik untuk bisa menuangkan rasa cinta Akang. Tapi ternyata salah, lewat sajak-sajak itu Akang malah menghancurkan semuanya,” ujar Regi benar-benar menyesal. “Akang gak bisa bayangin seandainya Risya tau, kalau penyebab kehancuran hubungannya dengan Mahesa itu adalah Akang.”
Nisa mendadak terdiam usai mendengar ucapan Regi tadi. Pandangannya cukup tajam menatap wajah laki-laki itu, yang kini terlihat semakin gusar.
Entah apa yang ada dipikiran Regi, sampai dia begitu berani menceritakan tentang Risya kepada gadis yang mencintainya. Wajahnya boleh saja terlihat tak apa-apa, tapi hatinya? Namun, gadis itu cukup kuat. Ia sama sekali tak ingin memperlihatkan apa yang dirasakannya kepada Regi.
“Jadi... Risya belum tau kalau Akang yang selama ini ngirim sajak-sajak cinta itu?”
Regi hanya menganggukkan kepalanya yang sedikit tertunduk.
Nisa kembali diam, seakan-akan gadis itu sudah kehabisan kata untuk bertanya.
Semilir angin perkebunan seperti ingin mengusik kebisuan mereka. Di tengah kegundahan Regi, terlihat senyum manis tercipta dari bibir mungil Nisa.
“Kang,” sapa Nisa penuh semangat, diiringi senyuman manisnya.
Regi sedikit mengangkat kepalanya yang tertunduk dan kini berhadapan dengan Nisa.
“Sajak-sajak yang Akang buat untuk gadis bernama Risya itu bagus-bagus, loh. Boleh gak aku minta Akang bikinin satu sajak buat aku? atau enggak Akang ajarin aku aja deh, buat bikin sajak. Ya, Kang!” pintanya sedikit manja.
“Tapi, Nis...” Regi tidak sempat melanjutkan perkataannya, karena Nisa keburu memasang muka merengek.
“Ayolah, Kang... please. Yah, yah...!” pintanya lagi.
Regi kembali terdiam, tapi kini matanya memandang wajah cantik Nisa. Tidak dapat dipungkiri, saat itu Nisa pasti merasakan hal yang tak biasa mengguncang hatinya. Saat laki-laki yang ia cintai kini ada di hadapannya, dan sedang menatap wajahnya.
“Aku mengerahkan rasa yang kupunya pada ujung jemari, membuatnya menari bersama hujan yang menyapa bumi. Mungkin kadang kamu membenci hujan. Becek, lembab, basah dan membuatmu merana. Namun kita sama-sama mencintai pelangi, yang hadir setelah hujan pergi. Hujan tak selalu mengantarkan rasa rindu. Terkadang, dia mengirimkan tetesan yang memukul dinding masa lalu. Aku pernah bertanya, bisakah hujan melarutkan rasa gundah? Sayang, hujan terlalu malas untuk bertegur sapa."
“Bagiku, romantis bukan ketika menatap hujan, yang merintik dalam gerak lambat. Tapi merekam setiap senyum yang kini kamu buat. Aku merasakan hangatmu memeluk sela jemari, menemaniku menghitung sisa tetes hujan tadi. Kamu, bukan alasan yang kupilih untuk menciptakan berbagai aksara indah. Tapi kamulah yang selalu berhasil mengusir rasa gundah, lalu menghadirkan senyum terindah."
“Meski yang kita genggam hanyalah sebuah kata, ‘teman’. Tapi tetaplah menjadi kamu. Karena tidak ada yang tidak mungkin, saat kamu dan aku, melebur menjadi kita.”
Seketika Regi terdiam, saat Nisa begitu saja memalingkan wajahnya usai Regi mengucapkan sebuah sajak, yang mendadak Regi buat untuk memenuhi permintaan Nisa.
Mungkin gadis itu malu, atau memang ia merasa salah tingkah, saat menyadari makna dari setiap kata yang ada dalam sajak indah yang Regi tujukan padanya.
Meskipun Nisa bukan gadis yang selama ini Regi kagumi, tapi tidak ada yang tidak mungkin jika dengan berjalannya waktu, perasaan yang ada akan berubah dengan sendirinya. Sesuai dengan kalimat terakhir yang ada pada sajak yang mendadak Regi buat untuk Nisa.
***
Saat jam istirahat tiba, Mahesa langsung keluar untuk mencari makan. Namun, tiba-tiba temannya menghampiri sambil memberikan sebuah kotak makanan yang bertuliskan.
‘Batagor kesukaan kamu, selamat makan siang.’
Teman Mahesa hanya mengatakan jika ada seseorang yang menitipkan makanan itu, untuk diberikan kepada Mahesa.
Ternyata dari sebrang jalan, sang pengirim yang ternyata Risya memperhatikan Mahesa dari kejauhan. Gadis itu hanya tersenyum saat melihat Mahesa, yang sedang memegang makanan pemberiannya.
“Mundur satu langkah bukan berarti menyerah, hanya saja keadaan membuatku mengerti. Saat ini, ada di belakangmu lebih baik daripada ada di sampingmu,” batin Risya, sambil menatap sosok Mahesa dari kejauhan.
Keadaan memang telah memisahkan mereka. Namun cinta Risya tidak bisa membuatnya jauh dari Mahesa. Meskipun tak ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya, tapi masih ada harapan untuk membuatnya sedikit lebih baik. Hati gadis itu memang sudah hancur bersama lepasnya cinta yang selama ini ia genggam. Tapi, bukan berarti perhatiannya ikut hancur untuk Mahesa.
Pada saat Mahesa pulang ke kost’an, lagi-lagi di depan pintu ia mendapat kotak makanan dengan tulisan.