Risya menunggu Regi sambil duduk di atas motornya, yang terparkir tepat di depan rumah Regi.
Pagi ini mereka berniat untuk berangkat kerja bersama. Meski tempat kerja Regi dan Risya sangat berjauhan, namun jalan yang mereka lewati tetap satu arah.
Tak harus lama menunggu, Regi keluar dan berjalan menghampiri Risya dengan wajah yang lesu, seperti tak bersemangat.
“Yuk, Bang!” ajak Risya sambil beranjak dari duduknya.
Namun, tiba-tiba Risya heran saat melihat wajah Regi yang cukup pucat.
“Bang... Abang baik-baik aja, ‘kan?” tanya Risya.
“Emm... iya, Ris. Abang baik-baik aja kok,” jawab Regi lesu sambil tersenyum kecil. Untuk membuat Risya tidak khawatir.
“Abang yakin?” tanya Risya lagi.
Regi mengangguk dengan senyum penuh keyakinan.
“Ya udah kalau gitu,”
Pada saat Regi hendak naik ke motor Risya, tiba-tiba kepalanya terasa pusing, dan Regi langsung jatuh pingsan.
Risya kaget bercampur khawatir, ia yang masih berdiri di samping motor langsung bergerak mendekati Regi, yang sudah tergeletak di bawah.
“Ya ampun, Bang Regi. Bang... bangun, Bang! Bang Regi, bangun!”
Beberapa saat kemudian, di kamar Regi. Regi terbaring di atas tempat tidur, setelah sebelumnya Risya memanggil dokter dan memeriksa keadaan Regi. Gadis itu tampak setia menunggu Regi yang masih belum siuman, dengan pandangan tak biasa. Tidak lama menunggu, Regi mulai membuka matanya. Laki-laki itu memandang Risya yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum.
Tapi bukannya membalas, Risya malah memandangnya dengan tatapan sinis.
“Kenapa Abang gak pernah cerita tentang ini sama aku?” tanya Risya dengan tatapan yang cukup tajam.
“Maksud kamu apa, Ris?”
“Kenapa Abang gak pernah cerita sama aku! kalau Abang punya penyakit separah itu,” kata Risya cukup membentak, bukan karena Risya marah, tapi karena Risya kecewa. Seketika air matanya menetes.
Regi diam membisu, ia tidak tahu harus berbicara apa. Saat penyakit yang selama ini berusaha ia sembunyikan, akhirnya ada yang mengetahuinya. Dan orang yang pertama tahu itu adalah Risya, sosok yang sangat Regi harap untuk tidak pernah mengetahui apa yang sedang menimpanya.
“Tapi Abang baik-baik aja kok, Ris.”
“Kanker stadium akhir Abang bilang baik-baik aja?” Air matanya semakin berjatuhan.
Laki-laki itu kembali diam membisu.
“Terus kenapa Abang gak mau mengikuti saran dari dokter? ... Abang harus mulai terapi. Aku gak mau hal buruk terjadi sama Abang.” Risya semakin bersedih, menangis tersedu-sedu.