Sajak Cinta Terakhir

Widhi ibrahim
Chapter #17

Kenyataan Yang Pahit

Hari ini Nisa terlihat begitu bersemangat datang ke perkebunan. Meskipun sudah tidak ada yang harus gadis itu kerjakan lagi, namun ia masih tetap berantusias datang ke tempat dimana sang lelaki pujaan hatinya bekerja. Baru beberapa hari tidak bertemu, nampaknya gadis itu sudah dilanda rasa rindu. 

Dengan bersemangat, Nisa mencoba mencari keberadaan Regi. Pandangannya berkeliaran kesana-kemari, namun tetap saja orang yang dicari tidak ia temui. Nisa pun mencoba bertanya ke beberapa pekerja perkebunan yang ia temui, namun mereka tak ada yang tahu keberadaan Regi.

“Kang... apa benar beberapa hari ini kang Regi tidak datang ke perkebunan?” tanya Nisa kepada seorang pekerja perkebunan yang cukup dekat dengan Regi.

“Iya, Neng. Sudah beberapa hari ini pak Regi memang tidak datang ke perkebunan.”

“Kang Regi gak ngasih pesen apa-apa?” tanya Nisa lagi.

Kali ini orang itu hanya menggelengkan kepala. 

“Ya udah kalau gitu... nuhun, Kang.”

“Muhun, Neng. Permisi.” Laki-laki itu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.

Dengan sedikit perasaan bingung, Nisa masih berdiri sambil memikirkan Regi.

“Ada apa dengan kang Regi, ya? Gak biasanya kang Regi tidak datang ke perkebunan sampai beberapa hari seperti ini. Kang Regi kemana? apa jangan-jangan kang Regi sakit?” guman Nisa penuh tanda tanya.

***

Saat Nisa mengendarai mobil tanpa tujuan, ia tidak sengaja melihat Risya. Yang baru saja duduk di atas motor matic yang terparkir di depan mini market. 

Nisa langsung menghentikan laju mobilnya. Gadis itu keluar dari mobilnya, dan menyebrang jalan untuk menghampiri Risya.

“Emm, permisi... Risya, ‘kan?” tanya Nisa kepada Risya yang baru saja menyalakan mesin motornya.

Spontan Risya langsung mematikan mesin motornya dan membuka helm yang telah menghiasi kepalanya. “Iya... maaf kamu siapa?” tanya Risya balik.

“Aku temennya kang Regi. Bisa bicara sebentar?” pinta Nisa.

 Risya mengangguk. 

Lalu, mereka langsung pergi ke sebuah caffe terdekat. Nisa sengaja memilih tempat makan out door, agar lebih enak untuk ngobrol santai bersama Risya.

“Ohh... jadi kamu ini teman bang Regi di perkebunan,” kata Risya setelah Nisa memperkenalkan siapa dirinya, dan ada hubungan apa dengan Regi.

“Iya, Ris... kang Regi sering cerita tentang kamu kok. Dan aku juga sempet ngeliat kamu datang ke perkebunan beberapa kali,” jawab Nisa. "Cuma kita belum sempat bertegur sapa aja," sambungnya.

Risya tersenyum.

“Gini... aku mau tanya. Siapa tau kamu bisa kasih aku jawaban. ... Beberapa hari ini, kang Regi gak datang ke perkebunan, terus kang Regi juga gak ngasih pesan apa-apa. Kang Regi sama sekali gak bisa dihubungi. Aku khawatir... aku takut kang Regi sakit. Aku bermaksud untuk datang ke rumahnya, tapi aku gak tau alamatnya. ... Mungkin kamu tau kang Regi kenapa? Dan boleh aku minta alamat rumahnya?”

Risya malah diam. Gadis itu terlihat kebingungan untuk menjawab pertanyaan Nisa. Yang pertama, Risya tidak mungkin bilang begitu saja kepada Nisa kalau sebenarnya Regi memang sedang sakit. Tapi Risya juga tidak mungkin menyembunyikan apa yang sebenarnya menimpa Regi. Risya benar-benar bimbang. Haruskah ia jujur? atau tetap menutupinya?

“Tolong aku, Ris! Aku tau kamu deket banget sama kang Regi, jadi aku yakin kamu pasti tau tentang dia.”

Melihat ekspresi kekhawatiran yang muncul dari wajah Nisa, Risya pun menjadi yakin untuk menceritakan yang sebenarnya kepada Nisa. Risya juga tidak ingin jika harus menyembunyikan semuanya sendiri.

“Aku gak tau seperti apa hubungan kamu sama bang Regi. Tapi aku hanya berharap, kalau aku bener-bener gak salah menceritakan ini sama kamu. Jujur aja, aku gak sanggup melewati ini sendiri,” ujar Risya sedikit berat untuk mengatakannya. 

Nisa semakin terlihat cemas dan begitu menunggu, apa yang sebenarnya akan Risya katakan mengenai Regi.

“Sebenernya... bang Regi sakit parah,” ungkap Risya dengan nada tak biasa, seperti sedang menahan tangis.

“Maksud kamu?” tanya Nisa.

“Bang Regi terkena kanker stadium akhir, Nis...,” kata Risya dengan berat hati.

Ekspresi wajah Nisa langsung berubah, gadis itu terlihat begitu kaget.

“Kanker... stadium akhir, Ris?” tanya Nisa semakin tak percaya. 

Risya hanya menganggukkan kepalanya. 

Kali ini Nisa tidak bisa berkata apa-apa, seketika air matanya menetes. Hatinya terasa hancur usai mendengar apa yang terjadi dan menimpa seseorang yang sangat ia sayangi. 

Risya sendiri tidak menyangka, jika Nisa bisa sampai sesedih ini saat mengetahui apa yang sedang menimpa Regi.

***

Tidak bisakah engkau mengerti

Rasa di hatiku menjadi harapan

Tidak bisakah engkau pahami

Lihat selengkapnya