Sajak Cinta Terakhir

Widhi ibrahim
Chapter #18

Waktu Yang Tersisa

Saat Regi mencoba bangun dari tidurnya, tiba-tiba badannya terasa sangat lemas. Rasa sakit mulai hebat menyerangnya. Sebisa mungkin Regi mencoba menahan, kedua tangannya sampai memegang erat pinggir tempat tidur, saat mencoba melawan rasa sakit yang semakin tak tertahan.

Tuhan... sampai kapan aku mampu bertahan? Sejauh mana kaki ini mampu melangkah? Masihkah Kau memberi waktu untuk mata ini berkedip? Berapa lama lagi Kau beri kesempatan jantung ini tetap berdetak?” batinnya.

Setelah berhasil melawan rasa sakitnya, Regi mampu mengangkat sebagian tubuhnya dari atas tempat tidur. Saat dalam posisi duduk, Regi kembali batuk-batuk. Dan lagi-lagi menyisakan bercak darah di telapak tangannya. 

Nisa yang sore itu sengaja mengunjungi Regi, dan telah berdiri di depan pintu kamar yang sudah terbuka, dibuat kaget dengan apa yang ia lihat. 

Dengan wajah paniknya, Nisa berlari menghampiri Regi sambil membawa makanan di dalam sebuah susunan rantang yang menghiasi tangan kanannya. “Kang Regi...,” ujar Nisa kaget dan langsung meletakkan rantang yang ia bawa di lantai, saat melihat darah di telapak tangan Regi.

“Nisa....” Regi cukup kaget dengan kedatangan Nisa.

“Ya Allah, Kang.” Nisa khawatir saat melihat darah yang ada di telapak tangan Regi.

Tak ingin membuat gadis yang ada di hadapannya semakin khawatir. Regi langsung meraih tisu yang ada di samping tempat tidurnya. Dan segera menghapus bercak darah di telapak tangannya. “Akang baik-baik aja, Nis.” Sambil membersihkan darah di tangannya.

Gadis itu hanya memandang wajah pucat Regi, diiringi tetesan air mata yang berjatuhan begitu saja. Nampaknya Nisa tahu apa yang sebenarnya Regi rasakan saat ini. Hanya saja ia mencoba menyembunyikan, karena Regi tak ingin Nisa semakin khawatir.

Namun tanpa Regi minta, Nisa begitu memperhatikan Regi. Gadis itu seperti tahu apa yang sebenarnya Regi butuhkan. Dengan penuh rasa sayang, Nisa menyiapkan makanan untuk Regi, bahkan sampai menyuapinya. Meski makanan itu susah masuk ke dalam perut Regi, karena mungkin selera makan yang menurun dan rasa mual yang muncul, membuat Regi susah untuk menelan. Namun Nisa tidak menyerah, gadis itu terus mencobanya dengan perlahan. Setidaknya ada sedikit saja makanan yang masuk ke dalam tubuh Regi.

Setelah itu, Nisa memberikan obat untuk Regi. Lalu, Nisa menyuruhnya untuk beristirahat. Dengan setia Nisa berada di samping Regi sampai matanya terpejam. 

Diam-diam Nisa menatap wajah Regi yang tengah terlelap. Nampaknya Nisa ingin sekali menyentuh bahkan mengelus pipi Regi. Namun, keraguan berhasil mengurungkan niatnya. “Demi kata cinta, aku rela berjalan kaki menyusuri bumi. Demi kata sayang, aku rela merangkak naik ke gunung tertinggi. Demi kau terjaga, aku rela menunggu hingga dirimu terlelap. Demi itu semua, aku rela tersayat setiap waktu.

“Entah, apakah aku memang sangat cinta? Ataukah, hanya ingin mengubur diri secara perlahan? Entahlah. ... Kata mata aku cinta, kata mulut aku sayang. Tak tau dari mana datangnya itu. Inikah cinta buta itu?” Seketika air matanya menetes. Menyadari itu, Nisa langsung menghapus air mata yang membasahi pipinya.

Perlahan Regi membuka matanya, usai Nisa mengungkapkan perasaannya lewat rangkaian kata berupa puisi tadi. Regi tersenyum saat menatap Nisa yang masih setia berada di sampingnya. Tiba-tiba kedua tangan lemah Regi meraih kedua tangan Nisa, dan menatap wajah Nisa penuh perasaan. 

Lihat selengkapnya