Regi dan Nisa sedang berada di pekarangan yang selama ini dijadikan tempat bekerja Regi di perkebunan. Mereka duduk di sebuah kursi besi berwarna putih, ditemani sejuk semilir angin perkebunan di pagi hari.
Sudah sepekan lebih Regi tidak menginjakkan kakinya di tempat itu. Rasa rindu nampaknya sedang menimpa Regi. Itu sebabnya, Nisa membawa Regi ke tempat dimana ia sering menghabiskan waktunya. Meski sudah tidak bisa bekerja seperti dulu lagi, namun setidaknya Regi masih bisa merasakan suasananya.
“Makasih, Nis. Udah bawa Akang ke sini,” katanya sambil tersenyum.
Namun, wajah Nisa tampak ditekuk. “Kang ... besok Nisa harus ke Bogor,” ujar gadis itu terasa berat.
“Terus... kenapa ekspresi mukanya kaya gitu?” tanya Regi saat melihat ekspresi wajah Nisa yang terlihat tak biasa.
“Itu berarti Nisa bakal ninggalin Akang sendiri,” ucap gadis itu sendu.
Perlahan kedua tangan lembut gadis itu menyentuh tangan Regi. Dengan tatapan penuh kasih sayang, Nisa memandang sosok laki-laki yang begitu berarti untuknya.
“Kang... berat bagi Nisa untuk pergi jauh dari Akang. Kalau bisa, mendingan Nisa tetap disini nemenin Akang, merawat Akang sampe sembuh. Nisa bener-bener gak mau balik lagi ke Bogor, Kang.”
“Enggak, Nis! kamu harus tetap pergi! Pendidikan kamu itu lebih penting!”
Kini giliran tangan lemah Regi yang menyentuh tangan Nisa, tangan kirinya menyentuh pipi Nisa. “Jangan menghkawatirkan Akang... Akang pasti baik-baik aja.”
Seketika air mata gadis itu menetes, ia langsung meraih lengan Regi yang masih mendarat di pipinya dan langsung menggenggamnya dengan erat.
“Kang... Nisa mohon! Tolong ikutin semua saran dokter! Nisa pengen Akang sembuh, Nisa pengen Akang selalu nemenin Nisa. Jangan pikirin apa pun, apalagi soal biaya. Nisa udah bilang sama bapa, dan bapa bersedia menanggung semuanya. Nisa mohon, Kang! demi Nisa!” pinta Nisa penuh harap.