Sajak Cinta Terakhir

Widhi ibrahim
Chapter #21

Detik Terakhir #3

Semakin hari, keadaan Regi semakin memburuk. Akhir-akhir ini Regi sering mengeluarkan darah dari mulutnya. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.

Seperti sore ini, tepatnya saat Regi sedang berada di kamarnya. Saat itu Regi sedang membalas pesan dari Nisa. Tapi tiba-tiba ia batuk, spontan Regi langsung meletakkan handphonenya di atas tempat tidur. Dengan tubuh yang mulai lemas, Regi segera berlari menuju kamar mandi.

Setelah berada di dalam kamar mandi, Regi langsung mencuci tangannya yang sudah penuh dengan darah. Setelah itu ia menatap bayangan wajahnya di cermin. Regi terdiam sejenak, kemudian ia membasuh mukanya. Laki-laki itu kembali menatap wajahnya di cermin, ia seperti memandang miris dirinya sendiri.

“Sampai kapan aku harus seperti ini, Tuhan? Aku lelah,” keluh Regi. 

Regi menghela nafas panjang. Setelah merasa cukup tenang, Regi memutuskan untuk keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju tempat tidurnya. 

Regi mengambil sebuah buku kecil, yang ternyata buku tabungan yang ia simpan di laci lemari kecil di samping tempat tidur. Setelah itu, Regi duduk di atas tempat tidur sambil memandang buku kecil yang saat ini tepat berada di tangannya.

“Penyakit ini memang telah menguasai tubuhku. Terapi atau tidak terapi pun, penyakit ini akan tetap mengantarkan aku menuju kematian. Jadi, aku rasa ada yang lebih penting dan membutuhkan uang ini dibanding aku.”

***

Mahesa heran pada saat ia tiba di depan kost’an. Mahesa yang memilih pulang lebih awal dari biasanya karena merasa tidak enak hati, dibuat semakin tak menentu. Saat melihat ada motor pemberian Regi, yang dulu selalu ia pakai terparkir di depan kost’annya.

“Bang Regi,” ujar Mahesa cukup yakin, jika yang mengantarkan motor ini pasti Regi. Namun, Mahesa dibuat heran, saat melihat ada secarik kertas terselip di salah satu bagian depan motor. Mahesa pun berjalan mendekat ke arah motor, lalu mengambilnya. 

Tidak lama setelah membaca surat dari Regi, yang di dalamnya terselip buku tabungan juga. Laki-laki keras kepala itu langsung pergi dengan terburu-buru, dan mengendarai motornya sambil menangis.

Bayangan-bayangan tentang pahit-manis kehidupan yang pernah Mahesa lewati bersama Regi, kembali bermunculan. Saat jadi buruh panggul sayuran, saat Regi memberikan makanan untuknya sedangkan ia sendiri tidak makan. Saat Regi telah susah payah mengumpulkan uang untuk kuliah Mahesa, tapi ia malah sering bolos kuliah. Saat Mahesa marah-marah kepada Regi karena sajak itu. Semua tentang Regi terbayang-bayang lagi di pikiran Mahesa, usai Mahesa membaca surat dari Regi yang berisi.

Mahesa, bukan hal yang mudah untuk Abang menahan semua perasaan di hati ini. Abang mencoba menyembunyikan cinta ini, karena Abang gak mau menyakiti hati kamu. Abang sayang sama kamu. Maafin Abang atas cinta ini, cinta yang tumbuh di hati ini, cinta yang merusak kebahagiaanmu bersama Risya. Abang mohon, kembali lagi cintai Risya. Dia sangat mencintai kamu. Seutuhnya, cinta yang Risya punya hanya untuk kamu.

Abang tidak peduli meskipun kamu membenci Abang, kamu gak mau maafin Abang. Abang terima. Yang penting kamu mau menuruti 1 hal. Abang ingin kamu kembali kuliah. Tunjukan sama Mamah, kalau kamu bisa. Buktikan Esa!!! tanpa orang tua, kita bisa meraih apa yang menjadi mimpi kita. Kehancuran keluarga, bukan alasan untuk kita patah semangat atau membuat hidup ini berantakan, seakan-akan tidak ada artinya. Semoga uang ini cukup untuk menyelesaikan biaya kuliah kamu.

Mungkin tugas Abang harus selesai sampai disini. Maafkan semua kesalahan yang pernah Abang lakukan sama kamu. Jaga diri kamu baik-baik. Abang sayang sama kamu.’

***

Lihat selengkapnya