Sajak Cinta Terakhir

Widhi ibrahim
Chapter #22

PAMIT

Di dalam kamar yang suasananya cukup hening, hanya terdengar bunyi jarum jam dinding berdetak. Dengan keadaan tubuh yang semakin lemah, Regi beranjak dari duduknya dan berjalan menuju sebuah kursi, yang biasa ia gunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Regi mendaratkan tubuhnya di atas kursi itu, lalu tangannya mengambil secarik kertas dan sebuah pena. Sambil batuk-batuk, Regi menuliskan sesuatu di atas kertas putih yang masih terlihat kosong, tanpa hiasan apapun.

‘Saat tubuhku semakin merapuh, harapan yang kupunya semakin sirna,’

Regi berusaha untuk menyelesaikan tulisannya. Yang dari awal kalimat sudah dapat ditebak, jika Regi sedang menulis sebuah sajak. Meski dengan susah payah, karena harus berdamai dengan keadaan. Diiringi batuk-batuk dan rasa sakit yang terus menyerang. Dengan tangan yang penuh darah, Regi terus mencoba menggerakkan pena di tangannya. 

Sakit yang dirasakan Regi semakin memuncak, tanpa terasa darah dari hidungnya menetes ke atas kertas sajak itu. Regi semakin tidak kuat menahan rasa sakit, tangannya semakin melemas dan perlahan kepala Regi menyentuh meja, tepat di atas kertas sajak. Regi berusaha mengambil pena untuk meneruskan sajaknya yang belum selesai. Tulisan pun makin tidak jelas, karena Regi semakin kesulitan untuk menggerakkan tangannya. Perlahan Regi menutup matanya, dan pena yang Regi pegang terjatuh dari genggamannya.

***

Sementara itu, Risya baru saja tiba di depan rumah Regi. Gadis itu langsung bergegas turun dari motornya. 

Tidak lama berselang, Mahesa pun tiba. Ia bergegas turun dari motornya dan menghampiri Risya, yang telah berdiri di depan pintu.

“Ris, dimana bang Regi?” tanya Mahesa cukup panik.

“Aku pikir kamu tidak akan peduli lagi tentang keadaan bang Regi.”

“Tolong jangan bahas itu! Sekarang bang Regi dimana?”

“Aku juga gak tau, perasaan aku bener-bener gak enak banget.”

Mahesa langsung membuka pintu yang tak terkunci, dan langsung masuk diikuti Risya. Mahesa dan Risya begegas berlari menuju kamar Regi. 

Mahesa langsung membuka pintu kamar Regi. Seketika mereka kaget melihat Regi tergolek lemah di atas meja kerjanya. Ditambah, saat melihat darah yang masih ada di hidung Regi, tangan Regi dan di atas kertas.

Mahesa langsung mengecek denyut nadi lewat tangan dan leher Regi, tiba-tiba Mahesa menangis. Mahesa tidak bisa mengendalikan perasaannya, laki-laki itu hanya mampu terhempas lemas, dan tak percaya dengan apa yang terjadi pada Regi.

“Sa, ayo cepet! kita bawa bang Regi ke rumah sakit!” pinta Risya panik.

Tapi Mahesa tetap diam membisu, hanya air mata yang terlihat berjatuhan membasahi pipinya.

“Mahesa, ayo!” ajak Risya lagi.

Tapi Mahesa tetap diam. 

“Bang, bangun! Bang Regi bangun!” ujar Risya mencoba membangunkan Regi.

Mahesa tetap membisu, ia sama sekali tidak menghiraukan Risya. 

Namun, tiba-tiba Mahesa beranjak dari duduknya, laki-laki itu melampiaskan semua perasaannya kepada benda-benda yang ada di kamar Regi. Mahesa melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Mahesa benar-benar terlihat seperti orang gila. Bahkan Mahesa memukul cermin yang ada di hadapannya saat itu, sampai retak dan tangannya terluka dengan darah yang menetes.

Lihat selengkapnya