Karena rasa rindu yang tak terbendung, dan rasa kehilangan yang masih melekat di dalam hatinya. Nisa memutuskan datang ke rumah Regi, dan dengan se-ijin Mahesa, Nisa masuk ke dalam kamar Regi. Gadis itu ingin mengenang masa-masa yang pernah ia lewati, saat menghabiskan waktu seharian bersama Regi.
Suasana yang tak banyak berubah di dalam kamar Regi, membuat Nisa semakin teringat dan merindukan Regi. Perlahan ia berjalan menelusuri setiap bagian di kamar Regi. Melihat barang-barang Regi, baju-baju Regi, terutama baju yang sering Regi kenakan saat bekerja, semakin membuat Nisa tak bisa menahan air matanya.
Saat Nisa duduk di tempat biasa Regi mengerjakan pekerjaannya, tidak sengaja pandangannya tertuju pada sebuah kertas yang dilipat, dan di bagian depan bertuliskan nama Nisa, kertas itu tertindih oleh sebuah buku. Dengan sangat antusias bercampur rasa penasaran, Nisa langsung mengambil dan membuka lipatan kertas itu, lalu membacanya.
Aku tahu ini tak mudah bagimu
Melupakan semua yang telah terbingkai di hati
Tapi inilah yang terbaik untukmu
Relakan saja meski perih ‘kan kau dapati
Maafkan aku yang tak pernah bisa
Ciptakan indah bertabur tawa
Terus kumanjakan dirimu dalam derita
Cerita pahit, sakit menahan luka
Kini sudah saatnya aku pulang
Bersama asmara yang tak pernah tertuang
Tersenyumlah selalu kau sayang
Karena tak akan ada lagi kasihmu yang terbuang
Oh Tuhan...
Kumohon berikan semangat senja
Untuk dia yang selalu setia
Menemani sampai waktu terakhirku tiba
Aku mohon...
Jangan ada air mata, jangan ada duka
Karena aku ingin selalu melihatnya bahagia
Nisa benar-benar tidak bisa menahan air matanya. Saat membaca sajak itu sambil mengenang kembali kebersamaannya bersama Regi. Meski terlambat ia temukan, namun Nisa bahagia. Karena ternyata Regi masih sempat menulis sajak cinta terakhir untuknya.
***
“Kak... ini sajak terakhir dari aku,” ujar Risya sambil menyodorkan selembar kertas kepada Rian yang tengah duduk santai di ruangannya.
Kertas yang berisi sajak dengan tulisan tangan terakhir Regi, masih dengan kertas yang sama dengan kertas yang waktu itu Regi pakai. Karena masih jelas terlihat ada beberapa tetes darah yang sudah mengering, menghiasi kertas sajak itu.
“Sajak terakhir, maksud kamu?” tanya Rian sambil memandang kertas berhiaskan tetes-tetes darah yang sudah mengering.
“Ini sajak terakhir yang bakal aku posting di majalah ‘Bintang’ , Kak.”
“Ini maksudnya gimana? saya tidak mengerti. Tolong jelaskan, Ris!”
Awalnya Risya ragu untuk mengakui semuanya kepada Rian, karena dia takut Rian akan marah kepadanya. Tapi Risya juga tidak mungkin terus berbohong, dengan terus berpura-pura mengakui kalau sajak itu karyanya. Padahal jelas-jelas bukan Risya yang membuatnya.
Akhirnya Risya menceritakan semuanya kepada Rian. Bahwa sebenarnya sajak-sajak yang selama ini diposting di majalah, bukanlah sajak yang dibuat Risya sendiri. Melainkan dari seseorang yang mengaguminya. Dan karena sang pengagum rahasia kini sudah tiada lagi di dunia, itu berarti tidak akan ada lagi sajak-sajak cinta untuknya. Dan tidak akan ada lagi sajak yang bisa Risya posting di majalah.
Risya benar-benar menyesal telah berbohong, dan meminta maaf kepada pemilik majalah tempatnya bekerja itu. Risya terlihat begitu siap, meski ia harus menerima hukuman. Karena apa yang telah dilakukannya itu, adalah sebuah kesalahan. Tapi untung saja Rian bisa mengerti dan mau memaafkan Risya.