Umar, Lukas, dan Wisnu, tiga doa yang berbeda, tapi diludahi oleh dunia yang sama.
***
"Penguasa … penguasa … berilah hambamu uang … beri hamba uang .…"
Suara itu bukan lagu, tapi ratapan yang dipaksa bernada.
Serak, lelah, nyaris parau—ditelan knalpot dan debu kota.
Dinyanyikan oleh tiga pemuda, yang seharusnya duduk di kelas dengan kemeja putih dan semangat wangi sabun.
Tapi mereka di sini.
Menggenggam botol kosong yang disulap jadi gitar, membunyikan tutup botol yang dijahit pada sendal putus, menari di atas aspal panas, demi satu dua koin yang dilempar lebih karena iba ketimbang peduli.
Mereka tak punya panggung,
hanya trotoar dan lampu merah yang jadi saksi bahwa hidup memang tak pernah adil membagi cahaya.
Seorang ibu pengendara motor melirik sinis.
“Masih muda, kok ngamen? Kerja yang bener dong!”